Pluralisme Gus Dur
Oleh: Lugas Wicaksono
Pluralisme menjadi tema pokok dalam buku ini. Mengutip pernyataan
penulis dalam beberapa kesempatan “Tuhan tidak perlu dibela”. “Tapi umat-Nya
atau manusia pada umumnya yang
sebenarnya justru perlu dibela” ketika mereka menuai ancaman atau mengalami
ketertindasan dalam seluruh aspek kehidupan, baik politik, ekonomi, sosial,
budaya dan agama. Penulis tidak hanya melihat agama Islam secara subyektif,
tapi haruslah secara obyektif. Pengalaman
pribadi orang tidak akan pernah sama dengan pengalaman orang lain. Dengan
demikian, kita justru harus merasa bangga dengan pikiran-pikiran sendiri yang
berbeda dari pemikiran orang lain. Dari kenyataan itulah, penulis sampai pada
kesimpulan, bahwa Islam yang dipikirkan dan dialaminya yang dapat disebutkan
sebagai “Islamku”. Namun yang disayangkan dalam berbeda pandangan, orang sering
memaksakan kehendak dan menganggap pandangan yang dikemukakannya sebagai satu-satunya
kebenaran, dan karenanya ingin dipaksakan kepada orang lain bahwa “Islamku”
yang paling benar.
Sementara
yang dimaksud dengan “Islam Anda”, lebih
merupakan apresiasi dan refleksi penulis terhadap tradisionalisme atau ritual
keagamaan yang hidup dalam masyarakat. Dalam konteks ini, penulis memberikan
apresiasi terhadap kepercayaan dan tradisi keagamaan sebagai “kebenaran” yang
dianut oleh komunitas masyarakat tertentu yang harus dihargai. Menurutnya, “kebenaran”
semacam itu berangkat dari keyakinan, dan bukan dari pengalaman. Keberagamaan
semacam itu diartikan oleh penulis sebagai “Islam Anda” yang juga perlu
dihargai. Menurutnya, “kebenaran” semacam itu
berangkat dari keyakinan, dan bukan dari pengalaman.
Sedangkan
“Islam Kita” lebih merupakan kepedulian dan keprihatinan seseorang terhadap
masa depan Islam yang didasarkan pada kepentingan bersama kaum Muslimin. Tujuan
tentang “Islam Kita” juga mencakup “Islamku”
dan “Islam Anda”, dan menyangkut nasib kaum Muslimin seluruhnya. Dalam konteks ini, penulis menyadari adanya kesulitan
dalam merumuskan “Islam Kita”. Itu karena pengalaman yang membentuk “Islamku”
berbeda bentuknya dari “Islam Anda”, yang menyebabkan kesulitan tersendiri
dalam mengartikan “Islam Kita”. Namun persoalan mendasar dalam konteks “Islam
Kita” itu terletak pada adanya kecenderungan sekelompok
orang untuk memaksakan konsep “Islam Kita” menurut tafsiran mereka sendiri. Dengan
kata lain, mereka ingin memaksakan kebenaran Islam menurut tafsirannya sendiri.
Monopoli tafsir kebenaran Islam seperti ini, menurutnya bertentangan dengan
semangat demokrasi.
Penulis
juga tidak sepakat dengan konsep Negara Islam. Tidak ada itu yang namanya
konsep Negara Islam. Penulis beranggapan, Islam sebagai jalan hidup (syari’ah)
tidak memiliki konsep yang jelas tentang negara. Sepanjang hidupnya, penulis telah
mencari dengan sia-sia makhluk yang dinamakan Negara Islam itu. Sampai hari
inipun ia belum menemukannya, jadi tidak salah jika disimpulkan memang Islam
tidak memiliki konsep bagaimana negara harus dibuat dan dipertahankan.
Selain
itu, penulis juga mengutuk kekerasan dan terorisme yang mengatsnamakan Islam. Karena
Islam tidak membenarkan tindak kekerasan dan diskriminatif. Satu-satunya
pembenaran bagi tindakan kekerasan secara individual adalah, jika kaum muslimin
diusir dari rumahnya (idzâ ukhrijû min diyârihim). Dalam pandangan
penulis, hal itu terjadi akibat para pelakunya masih mengalami pendangkalan
makna Islam. Mereka menganggap Islam itu unggul, dan tidak dapat diungguli (al-Islâm ya’lû wala
yu’la alahi).
Dengan pemahaman mereka sendiri, lalu mereka menolak
apa yang dianggap sebagai “kekerdilan” Islam dan kejayaan orang lain. Mereka lalu menolak peradaban-peradaban lain
dengan menyerukan sikap “mengunggulkan“ Islam secara doktriner. Pendekatan doktriner seperti itu berbentuk
pemujaan Islam terhadap “keunggulan” teknis
peradaban-peradaban lain. Dari sinilah lahir
semacam klaim kebesaran Islam dan kerendahan peradaban
lain, karena memandang Islam secara berlebihan dan
memandang peradaban lain lebih rendah. Dari
“keangkuhan budaya” seperti itu, lahirlah sikap otoriter yang hanya membenarkan diri sendiri dan menggangap orang atau peradaban lain sebagai yang bersalah atas
kemunduran peradaban lainnya. Akibat dari pandangan itu, segala macam cara dapat dipergunakan kaum muslim untuk mempertahankan
keunggulan Islam. Kemudian lahir semacam sikap yang
melihat kekerasan sebagai satu-satunya cara “mempertahankan Islam”. Dan
lahirlah terorisme dan sikap radikal demi “kepentingan” Islam. Sesuai dengan ungkapan di atas maka jelas, mereka salah
memahami Islam, ketika memahami bahwa kaum muslimin diperkenankan menggunakan
kekerasan atas kaum lain. Inilah yang dimaksudkan oleh kitab suci al-Qur’ân
dengan ungkapan “Tiap kelompok bersikap bangga atas milik sendiri (kullu
hizbin bimâ ladaihim farihûn)” (QS al-Mu’minûn [23]: 54). Kalau sikap itu
dicerca oleh al-Qur’ân, berarti juga dicerca oleh Rasul-Nya.
Dengan demikian tidak ada manusia yang paling benar dan manusia
yang paling salah. Dalam Negara demokrasi seperti Indonesia ini, kita perlu
memberi porsi yang sama rata dan sama rasa terhadap masyarakat, agama dan
menjunjung tinggi demokrasi itu sendiri. Karena Indonesia merupakan Negara yang
multikultur bro. berapa banyak suku, bahasa, budaya, agama yang ada di Indonesia? Ketika kita masih duduk di
bangku Sekolah Dasar, kita sudah diberi pelajaran Pendidikan Kewargenagaraan
dan di dalamnya kita perlu sikap toleransi tenggang rasa, gotong royong.
Ideologi Pancasila adalah harga mati. Perlulah kita menghargai jasa para
pahlawan yang telah berjuang untuk kemerdekaan bangsa Indonesia. Ingat juga
semboyan Bhineka Tunggal Ika, berbeda – beda tetapi tetap satu jua bro.
Judul Buku : Islamku Islam Anda
Islam Kita
Agama Masyarakat Negara
Demokrasi
Penulis : Abdurrahman Wahid
Penerbit : The Wahid Institute
Tebal : xxxvi + 412 halaman
Cetakan : I, Agustus
2006
Peresensi : Lugas Wicaksono (Kader PMII FISIP UMM, Mahasiswa Sosiologi UMM)
Mantab isi bukunya...
BalasHapus