Potret Kemiskinan: Masih Banyak yang Tidak Kebagian Listrik di Kota Malang

in 0


------------
Faqih Al Asy'ari
------------
Ketua Jaringan Kemanusiaan Jawa Timur (JKJT) Agustinus Tedja malam itu (31/3) mengantarkan  saya pada rumah Andre (24) di kelurahan Penanggungan, kecamtan Klojen kota Malang. Yang mengejutkan, rumah berukuran sekitar 3x6 meter itu hanya diterangi dimar, yakni penerangan dari minyak tanah saja! Di tengah situasi gelap itu saya berbincang-bincang dengan Andre yang hidup dengan kedua orang tua dan kedua adiknya. 


Keluarga Andre bukan tanpa usaha. Selama ini aliran listrik rumahnya disambungkan dengan bebearapa tetangga. Namun lagi-lagi persoalan keuangan justru membuat mereka mempunyai banyak masalah dengan tetangga, lebih-lebih ayah Andre tidak mempunyai pekerjaan tetap. “Bapak kerja apa saja, mas. Kadang cari barang bekas, kadang bantu di pasar, apa saja”
Rumah Andre menyusur ke bawah dari tepian sungai Berantas, di tengah-tengah perkampungan padat penduduk yang berjejal di bantaran sungai Brantas. “Dulu satu rumah dengan rumah samping, tetapi kami hanya mampu beli satu kamar dan dapurnya saja, sehingga rumah ini kami pecah jadi tiga”. Kata ibu Andre.
“Ini masih sebagian. Ada banyak kemiskinan yang harus kamu tahu”, kata mas Tedja, sapaan akrab Agustinus Tedja kepada saya. “Banyak rumah orang tua anak-anak saya (anak jalanan) tidak mempunyai listrik karena kemiskinan,” lanjut Tedja yang membina 600-an anak jalanan di kota Malang saat ini.
Sementara itu wakil komisi DPRD kota Malang bidang kesejahteraan, Rasmuji saya hubungi lewat telepon  yang saya dapat dari perpus kota Malang mengatakan bahwa listrik adalah persoalan perusahaan negara, dalam hal ini PLN. “Masalahnya memang tidak ada anggaran dari pemerintah daerah kepada perusahaan negara seperti PLN dan PDAM.” Rasmuji menyarankan agar keluarga Andre meminta keringanan pemasangan dan pembayaran dengan PLN secara langsung. “Ketua RT dan RW setempat seharusnya membantu,” lanjut anggota fraksi PKB ini.
Hal berbeda disampaikan akademisi UMM dosen saya di mata kuliah Teori Sosiologi Modern, Bapak Rahmat K. Dwi Susilo. Menurutnya pemerintah selama ini belum menunjukkan keseriusan keberpihakannya pada warga pariferal. “Hal ini membenarkan anggapan selama ini bahwa kota Malang memang pro modernisasi. Orang miskin tidak pernah diperhatikan”. Hal itu tentu menggelikan karena ada sekitar 3200 Rumah Tangga sederhana (RTS) berdiri di bantaran/sepadan sungai Brantas, 12 persen dari 26 ribu RTS di kota Malang.
   

Leave a Reply