Bayang-Bayang Harapan (1)
----------
Faqih Al Asy'ari
----------
Pagi-pagi Arya tersadar, dia
masih mempunyai satu tanggungan yang belum diselesaikan. Sedikit tersentak
karena dia fikir semua terlambat. Pagi ini cowok 23 tahun itu harus segera KRS
online dan menuju Bumi Aji Batu untuk wawancara. Siang harus menulis berita dan
malam mempersiapkan acara pelatihan di Avegass, sebuah LSM berbentuk komunitas
di Malang. Setengah terpejam, cowok kurus itu mencoba membuka jendela, ternyata
matahai belum terbit, hanya fajar yang mulai merekah merah. Arya tersenyum,
karena masih ada waktu untuk menulis tentang cewek yang memintanya pendapat
tentang dirinya, sudah hampir tiga bulan lamanya dia meminta, tapi dia tahan
terus menerus, agar cewek tak lepas dari komunikasinya. Itu kata hatinya.
Bangkit dari pembaringan, kakinya
melangkah keluar kamar, langsung berhadapan dengan meja billiard yang memang
disediakan untuk bermain bersama sahabat-sahabatnya. Meski meja coklat beralas
karpet hijau sebagai area bola billiard itu terlihat kotor, setidaknya
pemandangan meja billiard mengesankan tempat komunitas ini bergaya fun community.
Rasanya waktu teramat cepat
berjalan, gak mau tahu jika Arya belum siap penuh melihat semua kenyataan yang
hadir hari ini. Cowok berkacamata ini kuatir, apa yang dia tuliskan justru
menjadi pengganggu, karena bisa saja yang dia fikirkan adalah salah. Tpi apa
boleh buat. Tulisan ini harus disampaikan pada cewek manis bernama Angel hari
ini.
Sejenak Arya menarik napas
panjang untuk memulai menulis bait-bait yang harus ia tulis apa adanya.
Pikirannya berselancar dalam imajinasi sambil memandangi pagi yang mulai
merekah fajar. Sejenak kemudian napas panjang mendesah seirama suara lembut butiran-butiran
sisa air hujan yang masih berjatuhan. Perlahan Arya membetulkan pantatnya yang
mulai penat oleh kursi plastiknya untuk menggeser sedikit. Tapi adzan subuh
segera berkumandang membuat langkahnya terhuyung melangkah. Bukan sholat, tapi
kembali ke pembaringan, tidur lagi dan mendengkur.
Mungkin kini cowok kurus itu
sudah terbuai dalam alam mimpi yang anggun, lupa bahwa pagi ini harus
memberikan pendapat tentang Angel. Dasar bocah gemblung, selalu begitu. “Besok aku pulang bu,” Kata Arya lewat telepon
pada ibunya. Besoknya bilang lagi, “Bunda, kayaknya aq pulang besok deh”. Besoknya
lagi bundanya telepon, “Arya, kapan kamu pulang”. Sambil menarik selimut di
pembaringannya, Arya menjawab santai, “InsyaAllah besok bu..”. “Arya… Bilang
besok pulang diulang sampai seminggu..” Kata bundanya jengkel. “Kan pulangnya
besok bunda, bukan sekarang…”
Rasa-rasanya memang sulit untuk
Arya untuk sedikit belajar disiplin saja. Tapi bukan berarti anak rewel ini
tidak menyadari keburukannya. Kali ini ia bekerja keras untuk memenuhi harapan Angel,
menyampaikan pendapatnya tentang cewek dari daerah utara Kota Malang, entah
mana, dia tidak tahu. “Yang penting aq menulis”, gumamnya. Tapi dasar, malah
balik tidur di atas kasur yang mulai penuh larik-larik lukisan alami karena
banyak temannya numpang tidur di situ. Padahal mentari mulai menyapa pagi,
beserta orang-orang yang mulai sibuk pagi ini.
***
Beranjak pagi berdesing dengan
suara berbagai kendaraan bising yang melaju di depan rumah komunitas, tempat
Arya tertidur. “Hwaaahhhhhh…..” Matanya menatap langit-langit kamar, ingin
menarik selimut kembali, merasakan indahnya alam mimpi yang baru saja
terjaga…….
“Bbbbbrraaaaakkkkkk…..” tiba-tiba
masuk sahabat ke kamar,
“duwe rokok crut?”
“Rokok opo, endi kopine?” sahut
Arya
“Di depan” jawab Wahyu yang
identik dengan film Roc’k ‘n Roll masuk pesantren.
“Rokokmu endi crut?” Tanya Wahyu
lagi.
Arya mencoba bangkit, membuka
tas. Satu bungkus rokok inter GG tinggal dua batang. “Pas, siji-siji”
Keduanya berjalan
beriringan ke depan, serambi menonton TV di ruang depan. Arya kini tanpa cuci
muka mencoba bangkitkan gairah menulisnya.
“Wadoooooowwww….” Teriak
Arya mengagetkan Wahyu yang sedang membolak-balik Koran Kompas pagi ini,
“Napo crut?”
“Aq harus nulis. Aq harus nulis”
Sahut Arya tidak menjawab pertanyaan Wahyu. Satu pena diambilnya dengan secarik
kertas. Satu paragrap ditulis. “Ehm, enggak cocok” ujarnya sambil meremas dan
membuang kertas. Jemarinya lalu membuka laptop di samping kanan. Sejenak
dahinya berkerut lalu mulai menulis baris demi baris kalimat;
Yang Arya gk paham,
apakah samean ini benar-benar seorang yang sensitif, mudah sekali memikirkan
sesuatu yang menimpa samean dari omongan orang lain? Dibalik tawa can canda
samean yang mendera, rasanya ini menjadi dua keping mata uang yang berbeda.
Setiap canda pasti muncul berbagai kata kasar menjadi tertawaan. Yang mungkin
iya, samean menjadi sosok yang diam saat ada masalah, kemudian memikirkannya
menjelang tidur... atau mungkin samean takut disakiti, samean selalu melindungi
perasaan samean. Hati dan pikiran samean mungkin cukup dalam, tetapi terkadang
orang lain menganggap samean tertutup.
Padahal samean yang aq kenal
adalah sangat ramah, begitu pandai mengungkapkan kata-kata yang tepat dalam
berbagai situasi sehingga orang lain cukup mudah menyukainya -- atau
malahan cukup mudah diperdayainya bila itu yang mereka inginkan! Keluarga
menjadi tolak pengabdian samean.
Dulu, di awal masuk
kampus Arya sempat menulis beberapa tentang qm. Waktu terus brjalan dan tulisan
ini hanya suara yang berlalu tanpa kata, krn sudah Arya bingkai dalam pigora
kaca, menjadi hiasan dan manik-manik yang indah untuk dilihat saja... Satu
diantara tulisan itu Arya beri judul: Aku menyesali diri, mengapa aku tidak siap jatuh
cinta?
Jemari Arya kemudian menekan tombol-tombol
folder yang masih tersimpan, menemukan file yang dicarinya;
Kelembutan itu
terpancar. Nama kamu terngiang dalam tiap bait lagu umbrella terdengar dari
computer. Ya, itu mengingatkanku tiap waktu akan dirimu. Meski kamu dingin,
tidak hangat menyentuh kejiwaanku yang menggelora.. Aku bahagia, mencoba ikut
bahagia, saat kau telah mendapatkan tautan hati.
Bayanganku kemudian
mengingat saat aku berkunjung ke kos kamu di istana Gajayana. Ku antarkan
kepulanganmu dengan menunggu di depan gerbang kos. Aku berfikir, bagaimana
tidak bahagia seseorang bila kehadiranmu menyambut perjumpaan dan perpisahan
dengan senyuman kamu yang menawan, lebih cantik dari dirimu sendiri?
Sinar kecantikan itu
bukan dari wajahmu, bukan pula dari tubuhmu. Itulah yang membuatku tertegun,
terdiam sebelum pulang, lalu sesak sebentar menyulitkan dadaku bernafas,
menyulitkan tenggorokanku menelan ludah. Sinar kecantikan itu terpancar begitu
dalam, dari aura perilaku yang kau tampilkan… lantas aku berfikir ulang,
merenung ulang, apakah aku jatuh hati?
Teramat lambat dan
sangat lambat. Hatiku berdiam dalam lamunan sepanjang jalan, tidak lagi ingat,
tidak lagi sempat menyapa semua yang lewat, tidak lagi sadar, sampai mana roda
duaku telah berjalan. Yang aku sadar, aku telah salah arah. Jalan kendaraan aku
putar, aku lebih baik pulang ke kos. Riuh kendaraan mengkin saja bisa menelanku
diantara hiruk pikuk motor, tanpa capek, tanpa kesabaran. Huf. Lebih baik aku
istirahat. Itu saja.
Konsentrasi aku atur
hingga bisa sampai kos di dinoyo. Lagu-lagu rindu dan patah hati D’Masive cukup
aku resapi dalam kenikmatan sakit, dalam kenikmatan perih, luluh lantak
meleburnya hati, karena kau kini telah bersandar di dada lelaki lain, teman
sekelas mata kuliah Antropologi.
Kecantikan yang kau
pancarkan memang bukan dari wajah dan tubuhmu. Hasratku untuk bermain dengan
perasaan, hasratku untuk bisa memelukmu, memilikimu, memadu kasih, merindu, menyayang
bahkan berduka denganmu, kini aku pikir telah berakhir. Tetapi aku tidak tahu,
sejauh mana akhir ini juga akan berakhir. Yang aku pertahankan, kecantikanmu
tetap bisa aku sentuh. Aku masih bisa melihatmu di sela-sela mata kuliah.
Sedikit menghiburku, meski aku pengecut, karena tidak berani jatuh cinta, aku
tidak siap jatuh cinta.... (bersambung)