Teori Neofungsionalisme

in 1


Jeffrey C. Alexander
Neofungsionalisme yang lahir sekitar tahun 1980an adalah kelanjutan dari fungsionalisme structural yang dikembangkan oleh Talcott Parsons yang mengalami kemerosotan sejak pertengahan 1960 – 1980an. Tokoh dari Neofungsionalisme adalah Jeffrey Alexander dan Paul Colomy yang mendefinisikan bahwa neofungsionalisme adalah “rangkaian kritik dari teori fungsional yang mencoba memperluas cakupan intelektual fungsionalisme yang sedang mempertahankan teorinya” (1985:11).

Alexander menguraikan beberapa orientasi dasar neofungsionalisme

1. Neofungsionalisme bekerja dengan model masyarakat deskriptif. Melihat masyarakat tersusun dari unsure – unsure yang saling berinteraksi menurut pola tertentu. Unsur – unsure sistem “berhubungan secara simbiosis” dan interaksinya tidak hanya ditentukan oleh kekuatan. Jadi neofungsionalisme bersifat terbuka dan plural.

2. Alexander menyatakan bahwa neofungsionalisme memusatkan perhatian yang sama besar terhadap tindakan dan keteraturan. Menghindarkan kecenderungan fungsionalisme structural tradisional yang memusatkan perhatian hampir sepenuhnya pada sumber dan keteraturan tingkat makro di dalam struktur sosial dan kultur.

3. Neofungsinalisme tetap memperhatikan masalah integrasi, tetapi bukan dilihat sebagai fakta sempurna melainkan lebih dilihat sebagai kemungkinan sosial. Mengakui bahwa penyimpangan dan control sosial adalah realitas dalam sistem sosial. Neofungsionalisme memperhatikan keseimbangan, lebih luas dari pada perhatian fungsionalisme structural tradisional. Keseimbangan sosial tidak dilihat sebagai keseimbangan statis. Keseimbangan untuk menganalisa fungsional tetapi bukan sebagai deskripsi kehidupan sosial yang nyata.

4. Neofungsionalisme tetap menerima penekanan Parsonsian tradisional atas kepribadian, kultur dan sistem sosial. Selain sebagai aspek vital struktur sosial, interpenetrasi atas sistem sosial itu juga menghasilkan ketegangan yang merupakan sumber perubahan dan control.
 
5. Neofungsionalisme memusatkan perhatian pada perubahan sosial dalam proses diferensiasi di dalam sistem sosial, cultural dan kepribadian. Perubahan tidak hanya menghasilkan keselarasan dan consensus, tetapi dapat meneybabkan ketengan baik individual maupun kelembagan. 

6. Neofungsionalisme secara tidak langsung menyatakan komitmennya terhadap kebebasan dalam mengonsep dan menyusun teori berdasarkan analisis sosiologi pada tingkat lain.

Guna mengimbangi bias level makro dari fungsionalisme structural tradisional, dilakukan usaha untuk mengintregasikan ide – ide dari teori pertukaran, interaksionalisme simbolik, pragmatism, fenomenologi dan sebagainya. Dengan kata lain, Alexander dan Colomy berusaha menyintesakan fungsionalisme dengan jenis teori lainnya. Dengan tujuan dapat membangkitkan teori fungsionalisme structural dan juga sebagai dasar dalam pengembangan teori yang baru.

Alexander dan Colomy mengakui perbedaan penting antara neofungsionalisme dengan funsionalisme structural

“Riset fungsional awal dipandu oleh skema konseptual tunggal yang serba meliputi yamg mengikat area-area riset khusus ke dalam satu paket ketat. Sabliknya, karya empiris neofungsionalisme diorganisasikan secara longgar, yaitu diorganisasikan diseputar logika umum dan memiliki sejumlah “cabang” dan “variasi” yang agak otonom pada tingkat dan dominan empiris yang berbeda-beda (Alexander dan Colomy, 1990a:52).”
Pemikran Alexander dan Colomy bergeser jauh dari Parsons dalam melihat fungsinalisme structural sebagai teori besar. Mereka menawarkan teori yang lebih terbatas dan sintesis, namun tetap holistic.

Sumber:
George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern cetakan ke-5. 2008. Kencana: Jakarta

One Response to “Teori Neofungsionalisme”