Logika Koalisi

in 0

jum’at (4/3-2011) lalu Hatta Rajasa mewacanakan hal ini. Pasalnya bila kita membedah kontrak koalisi secara ilmiah, kita akan dapati bahwa kontrak ini tetap menjamin hak dari setiap partai politik untuk dapat bersikap kritis terhadap pemerintah, bahkan juga mendorong untuk saling melakukan fungsi checks and balances.  Boleh jadi hal ini lah yang kemudian memicu wacana perubahan kontrak koalisi.

Kini yang menjadi pertanyaan untuk saat ini adalah pantaskah partai peserta koalisi tersebut merubah isi kontrak koalisi? Adakah hubungan antara kontrak koalisi dengan tanggung jawab terhadap rakyat, khususnya para pemilih SBY-Boediono?

Logika Koalisi
Jadi bila kita berbicara dalam konteks yang lebih makro, dapat disebut hanya ada dua kubu, kubu yang pertama adalah koalisi SBY-Boediono (PD, PKS, PAN, PPP, dan PKB) dan kubu yang kedua adalah Mega-Parbowo (PDIP dan Gerindra) bersama JK-Wiranto (Golkar dan Hanura). Kedua kubu tersebut bersebrangan sangat jauh, bahkan juga ketika bila dilihat dari isu, agenda, dan komitmen yang mereka tawarkan saat kampanye.

Mengingat ini semua, tentu logika SBY yang mengajak PDIP dan Gerindra untuk tergabung dalam koalisi, tidak masuk akal. Sebenarnya sama juga tidak masuk akalnya dengan masuknya Golkar ke dalam koalisi. Bahkan juga bila kita berbicara soal konsistensi komitmen saat kampanye, tak mungkin SBY berkoalisi dengan Golkar, apalagi dengan PDIP dan Gerindra yang jauh bersebrangan. Sayangnya begitu banyak yang mudah lupa dengan akar sejarah koalisi ini.

Jadi pantas rasanya bila kita pertanyakan kembali komitmen yang ditawarkan saat kampanye. Apalagi bila kita telusuri, yang menang dalam pilpres 2009 bukan sekedar SBY-Boediono, tapi sepaket koalisi yang dulu ditawarkan kepada rakyat. Ada komitmen, agenda, dan semuanya. Bila kemudian kontrak koalisi pun diubah, jelaslah sudah pengkhianatan SBY-Boediono terhadap amanah kemenangan 2009.

Leave a Reply