Resensi The Hot Chicken Soup For GLOBAL WARMING
Oleh: M. Nurwahid Abdulloh
Lestari Alamku, Lestari Negeriku, Lestari Hidupku
Al-Qur’an (30:41) menyebut , “……..Telah nyata kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari akibat perbuatan mereka agar mereka kembali".
Dalam Kitab Budha Karaniyametta Sutta disebutkan, “…hendaklah ia berpikir semoga semua makhluk berbahagia. Makhluk hidup apapun juga, yang lemah dan yang kuat tanpa kecuali, yang panjang atau yang besar, yang sedang, pendek, kecil atau gemuk, yang tampak atau tak tampak, yang jauh ataupun yang dekat, yang terlahir atau yang akan lahir, semoga semua makhluk berbahagia“.
Dalam Hindu Mahabaratha diterangkan, “….bahwa alam adalah pemberi segala keinginan dan alam adalah sapi perah yang selalu mengeluarkan susu (kenikmatan) bagi yang menginginkannya”.
(Islam, Budha, Kristiani dan Hindu)
Demikian agama mengajarkan konservasi lingkungan. Tak lain untuk menjaga kelanjutan kehidupan seiring dengan waktu. Buku berjudul The Hot Chicken Soup For GLOBAL WARMING; Refleksi Kritis Pelajar Indonesia Tentang Krisis Lingkungan Hidup membawa pesan konservasi lingkungan bagi pembaca. Buku terbitan Desember 2008 oleh Aksara Pustaka, Depok, ini merupakan kumpulan tulisan pelajar tingkat menengah Indonesia.
Sebanyak dua puluh tulisan dalam buku ini menggambarkan keprihatinan pelajar Indonesia atas isu iklim global. Yayasan Kesejahteraan Pelajar Indonesia (YKAI) menerbitkan kumpulan tulisan tersebut sebagai bentuk perhatian daya kritis pelajar. Penerbitan buku tersebut sebagai refleksi Indonesia sebagai tuan rumah World Conference Climate Change (WCCC) di Bali pada akhir 2007 lalu.
Judul buku ini diambil dari artikel karya Adhiah Juliarti Harahap. Dia memaparkan soal lemahnya Indonesia dalam menjaga kelestarian hutan. Melalui data yang dirilis FAO yang diteruskan Majalah Kawanku edisi 21-27 Mei 2007, dia menyebut Indonesia punya andil merusak 51 kilometer persegi hutan per hari. Kerusakan ini sebanding dengan tiga ratus lapangan bola per jam di Indonesia.
Data itu lantas menahbiskan Indonesia sebagai negara penghancur hutan tercepat di dunia sekaligus tercatat dalam The Guinness book of world records. Bukan hanya itu, dia cukup kritis dengan tesis kedua soal kerusakan lingkungan yang kian parah. Kerusakan yang membikin bumi makin panas itu bakal membuat pembiakan bakteri merugikan makin pesat. Salah satunya salmonella sebagai parasit yang ada dalam makanan.
Dan terakhir, Adhiah mengutip World Health Organization (WHO) yang memprediksi dampak pemanasan bumi mengakibatkan tragedi kemanusiaan terburuk. Sekitar 150 ribu kematian dan lima juta orang bakal terjangkit malaria, kekurangan gizi, bahkan diare per tahun akibat bumi yang makin panas.
Kerusakan lingkungan juga dikritisi oleh Dela Nila Wijaya. Melalui Caring Today for a Better Tomorrow, dia menyampaikan fenomena pertambahan penduduk sebagai penyumbang sampah yang makin menggila. Pertambahan penduduk itu tidak diimbangi dengan gaya hidup modern yang menaruh lingkungan sebagai perhatian utama. Penduduk makin gila dengan gaya hidup yang serba praktis.
Siswi SMP PKBM Mitra Ananda, Semarang, ini menyoroti pengelolaan sampah di negeri ini. Data Biro Pusat Statistik tahun 2000 menyebut 53,3% sampah di 384 kota di Indonesia tidak tertangani dengan baik. Dela mengutip Kepala Bidang Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Tribangun L. Sony bahwa manusia Indonesia menghasilkan 2,41 liter sampah per hari. Sebagai prediksi, pada 2015 volume sampah Indonesia meningkat sebanyak 39,12%. Yakni sekitar 255.842,23 m3/hari. Jumlah itu sebanding dengan terminal penerbangan pesawat. Akumulasi sampah yang cukup fantastis bila tidak dikelola dengan benar.
Nuri Mandan Sari lebih kritis lagi soal sampah organik. Dia mengajak pembaca memelototi limbah sapi dan jerami padi di lingkungan sekitar. Siswi SMAN 5 Denpasar itu menilai dua sampah organik itu dapat dimanfaatkan untuk kehidupan sehari-hari. Misalnya, untuk penerangan dan bahan bakar.
Melalui teknologi biogas, limbah sapi dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif. Gas metan sebagai hasil pengolahan limbah sapi merupakan gas yang mudah terbakar. Reaksi pembakaran gas metan menghasilkan Hidrogen Sulfida (H2S) dan Karbon Dioksida (CO2) dalam jumlah kecil.
Keuntungan pemanfaatan limbah sapi bukan hanya sebatas itu. Hasil samping biogas berguna untuk pupuk yang dikenal dengan slurry. Nuri mengutip Prof. Otto Soemarto yang berpendapat bahwa masyarakat harus bijak dalam mengelola ekosistem. Sikap bijak itu dapat meningkatan produktifitas dan pendapatan masyarakat secara aman.
Vierna Tasya Wensatama, menulis artikel bertajuk Ketika Bumi Merajuk. Siswi SMA Taruna Nusantara itu mengajak pembaca mencintai bumi. Bentuk cinta kepada bumi itu diumpamakan dengan cinta kepada kekasih. Misal, dengan memberi hadiah, yaitu sebutir benih pohon. Bisa dengan menaruh tempat sampah yang layak. Atau menekan polusi kendaraan dengan menggunakan biofuel. Dengan hadiah tersebut, Vierna optimistis bumi akan sangat senang dan terharu.
Karya Alfinda Agyputri tak kalah penting. Dia mengajak pembaca menjaga lingkungan dengan baik melalui penyadaran hak milik. Melalui sebuah kisah nasi jatuh di jalanan, dia berusaha memberi penyadaran soal ego pribadi untuk menjaga milik sendiri. Siswa SMA Dian Harapan, Jakarta, ini justru mengajak pelestarian lingkungan di luar konteks hak milik pribadi. Misalnya, lingkungan adalah milik saya. Semua orang merasa seperti itu. Jadi, lingkungan adalah milik kita bersama yang harus saya, kamu, mereka dan kita jaga bersama.
Karya Tiffany Deshian Pawestry tak kalah menarik. Karya tersebut menyelipkan pesan cinta kepada lingkungan sejak dini. Siswa SMAN 1 Salatiga itu mengingatkan bahwa karakter pelajar atas lingkungan dapat dibentuk konsep dunia mini. Dia mencontohkan dalam dunia seluas sembilan meter persegi ada berbagai benda. Dunia sembilan meter itu bisa berisi perabot kamar berupa kasur, lemari kayu, rak plastik, bahkan tempat sampah.
Sementara di dalam tempat sampah terdapat botol plastik, bungkus permen, kertas, tisu, dan bungkus snack. Tiffany seolah mengajak orang tua agar membiasakan pelajar melalui dunia mini tersebut. Setiap sampah yang dihasilkan dunia mini selalu dibuang pada tempat sampah. Sementara, pelajar diajak untuk menjaga barang-barang yang masih dipakai agar rapi dan bersih. Memang sepele, tapi dia yakin itu merupakan resep ampuh untuk menjaga lingkungan.
Penulis keenam, Gadis Wulandari, menghipnotis pembaca soal sumber daya air. Dia mengajak pembaca menjaga air sebagai sumber kehidupan. Oleh karena itu, polusi air harus ditekan melalui dengan cara tidak membuang sampah di pinggiran sungai. Sepanjang air bersih dan jernih, kehidupan akan terjaga harmoni.
Sebagai penutup, saya mengajak masyarakat menjaga lingkungan dengan reboisasi dan pengawasan penggunaan energi. Meski ajakan usang, keduanya terbukti mujarab menjaga kelestarian alam. Beberapa kota dunia bahkan telah memberi contoh nyata menjaga keasrian kota. Kota sekelas Vancouver, Canada; Malmo, Swedia; Curitiba, Brazil,; Portland-Oregon, USA; dan Reykjavik, Islandia telah memberi teladan. Kota-kota tersebut menuai sukses menjaga lingkungan melalui regulasi emisi karbon dan reboisasi.
Ketika hal itu terjadi di negeri kita, bukan tidak mungkin Indonesia bakal menjadi Surga Zamrud Khatulistiwa. Semboyan lestarilah alamku, lestarilah negeriku, dan lestarilah hidupku akan semakin dekat.
Informasi Buku;
Judul :The Hot Chicken Soup For GLOBAL WARMING; Refleksi Kritis Pelajar Indonesia Tentang Krisis Lingkungan Hidup
Penulis : Alfinda Agyputri, dkk
Penerbit : Aksara Pustaka, Depok
Cetakan I : Desember 2008
Tebal : 138 hlm
____________________________________
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, Aktivis PMII Komisariat Sunan Kalijaga Malang.
____________________________________
Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Negeri Malang, Aktivis PMII Komisariat Sunan Kalijaga Malang.