Bubarkan Sekolah
Oleh: Cheng Prudjung
Judul tulisan yang singkat tersebut di atas, meudah-mudahan cukup untuk membangkitkan rasa ingin tahu tentang sebuah sekolah. Semoga judul singakat tersebut di atas, menghasilkan sebuah benjolan besar di kepala kita akibat pukulan keras dua kata tersebut di atas, bagaimana tidak, orang-orang Indonesia (termasuk pula penulis sendiri) telah terjebak dalam jaring bernama sekolah. Orang-orang Indonesia, telah keracunan pendidikan.
Ada apa dengan sekolah?, sebenarnya sekolah sedang berjalan sebagaimana biasanya, mematuhi jadwal pertemuan, mengakomodasi proses belajar mengajar, mengumpulkan berbagai pengetahuan kemudian diolah dengan berbagai metode agar dapat dicerna (disuntikkan) oleh para peserta didik. Sekolah sedang asik dengan dirinya oleh sebuah kebanggan bahwa dialah media atau satu-satunya mesin yang mampu menolong manusia dari jeratan kebodonan. Sekolah berjalan biasa saja, dan pendidikan berjalan biasa saja mengikuti sekolah.
Sekolah adalah waktu senggang (merujuk kepada bahasa aslinya-latin- yakni skhole, scola, scolae atau schola, kata ini secara harfiah berarti waktu luang atau waktu senggang), dimana dia sedang bersantai ria menyaksikan manusia-manusia kerdil yang sedang sibuk mengais pengetahuan-ilmu dari setiap kata yang keluar dari mulut pengempu mereka. Sekolah, di tengah umur tuanya(seharusnya sudah mampus sejak dahulu) tetap kelihatan segar dengan penampilan yang selalu baru atau diperbaharui, penampilan tersebut berupa kurikulum pendidikan, metode pengajaran, undang-undang atau peraturan pemerintah tentang pendidikan, ataupun aturan sekolah tentang tata-tertib hingga aturan sekolah menyangkut pembayaran siswa dan biaya pendaftaran yang tampaknya selalu baru.
Sekolah sudah tua, bukan lagi rahasia umum, orang-orang telah mengetahui bagaimana tradisi sekolah mulai hadir pada zaman Plato masih hidup, dengan academia atau lyceum, aktifitas bersekolah diselenggarakan d Athena. Namun, sebelum itu bangsa Cina Purba kabarnya juga sudah memulai tradisi sekolah pada 2000 tahun sebelum Jesus lahir. Dan konon, itulah lembaga sekolah tertua di dunia yang pernah diketahui sampai saat ini. Sekolah memang sudah tua.
Apakah sekolah akan hidup selamanya?, ataukah akan mati pada saat yang tepat, yaitu ketika tidak adalagi manusia yang hidup di dunia ini, yaitu ketika tidak ada lagi manusia yang bisa dieksploitas, diperbudak dan diseragamkan oleh nalar atau hegemoni teori-toeri ilmu pengetahuan yang menyerukan objektivitas.
Bukan hanya umur sekolah yang telah tua renta, ‘suasana’nya pun telah tua renta. Perlu kita ingat kembali bagaimana gereja tidak serta-merta menjatuhkan hukuman kepada pengetahuan baru yang hadir dan memiliki semangat berbeda dengan semangat atau pengetahuan yang dianut oleh gereja. Hingga saat ini, perbedaan tidak dapat diterima oleh sekolah. Sekolah terus hidup dengan ruh objektivitasnya.
Keseragaman tersebut melahirkan sebuah realitas yang juga sama, yakni semua lulusan sekolah adalah sama. Sekolah yang nota benenya hadir sebagai tempat pengkajian dan transformasi ilmu tidak berhasil melakukan perubahan mendasar pada setiap aspek kehidupan manusia. Pendidikan yang ramai dihambur-hamburkan di sekolah, tidak mampu menghadirkan manusia-manusia yang memiliki semangat untuk memajukan kehidupan sesama mereka. Penulis malah berfikir, bahwa spirit objektifitas sebagai salah satu hukum keabsahan ilmu, melahirkan subjektifitas atau individualitas yang sangat tinggi. Para siswa yang mendapatkan pendidikan objektif, lahir menjadi manusia serakah yang sibuk mengurusi dirinya sendiri, bahkan kemanusiaan dirinya luput dari pantauannya akibat kesibukan itu. Ironi.
Bosan mengutip Freire dengan seruan humanistiknya di dunia pendidikan, kita tentu paham bahwa ilmu pengetahuan hadir sebagai alat agar usaha manusia menjadi manusia dapat tercapai, ilmu pengetahuan tidak mengarahkan manusia untuk menjadi binatang atau setan dengan ilmu pengetahuan. Kita musti kembali pada pertanyaan awal yang mengidentifikasikan manusia, hewan dan setan.
Everett Reimer (dalam Sekolah Itu Candu, Toto Raharjo) berkata dengan tegas, bahwa sekolah telah mati. Dia tidak memiliki lagi kegunaan, manfaat atau fungsi, sekolah hanya melahirkan manusia yang itu-itu juga.
Merujuk pada pernyataan Everett Reimer di atas, penulis berfikiran bahwa sekolah harus dibubarkan, biarkan dia istirahat atau kita dapat memikirkan bagaimana proses transformasi ilmu pengetahuan tanpa ada lagi istilah sekolah. Sekali lagi bahwa masyarakat Indonesia butuh penyegaran visi Pendidikan, dengan Pembubaran sekolah, semoga ada banyak kalangan yang bertanya dan menalar, manamungkin institusi sakral dapat dibubarkan. kita membutuhkan penyegaran dalam proses transformasi ilmu pengetahuan. Itu saja !!
___________________________
Penulis adalah Warga PMII UMM.