Pendidikan Diantara Pertarungan Paradigma
Oleh: Cheng Prudjung
Pendidikan bukan lagi sesuatu yang asing di telinga, di Indonesia, pendidikan seakan telah menjadi sebuah “gaya hidup” di kalangan masyarakat luas, terlepas dari apakah ada orang yang tidak bisa mengecap pendidikan dengan alasan tertentu. Salah satu motivasi seseorang mengecap pendidikan bukan lagi didasari oleh semangat menggali ilmu pengetahuan untuk menjadi penerang hidup. Akan tetapi, sebagaimana yang telah disebutkan, lebih kepada sebuah gaya hidup semata.
Sementara itu proses pendidikan baik formal maupun non formal pada dasarnya memiliki peran penting dalam melegitimasi bahkan melanggengkan sistem dan strukutur sosial yang ada, juga sebaliknya merupakan proses perubahan sosial yang lebih adil. Dalam hal ini, pendidikan memegang peranan penting pembangunan suatu tatanan masyarakat, entah pendidikan berusaha untuk melanggengkan sistem struktural yang berlangsung ataupun menjadi pijakan awal proses penegakan keadilan.
Meninggalkan sejenak wacana bagaimana pendidikan yang menjadi gaya hidup baru, perlu diketahui bagaimana pendidikan memiliki perbedaan dalam pandangannya tentang manusia guna mengembangkan pola pendidikan. Perbedaan pandangan atau paradigma ini kemudian bisa membantu kita untuk menganalisa bagaimana pendidikan beralih dari sebuah cita spirit pembebasan kepada sebuah gaya hidup yang terkesan hanya aktifitas menjalani hidup semata.
Giroux dan Aronowitz (1985), mengkategorikan pendekatan pendidikan menjadi tiga yaitu pendekatan konservatif, liberal, dan kritis serta mengupas bagaimana masing-masing paradigma pendidikan tersbut berimplikasi terhadap sub sistem pendidikan lainnya.
Paradigma Konservatif
Dalam pandangan konsevatif, ketidaksederajatan masyarakat merupakan suatu hukum keharusan alami, suatu hal yang mustahil bisa dihindari serta sudah merupakan ketentuan sejarah atau bahkan takdir tuhan. Perubahan sosial bagi mereka bukanlah ketentuan yang harus diperjuangkan, karena perubahan hanya akan membuat manusia lebih sengsara, hanya Tuhanlah yang merencanakan keadaan masyarakat dan hanya dia yang tahu makna dibalik itu semua.
Namun dalam perjalanan selanjutnya, paradigma konservatif cenderung manyalahkan subyeknya. Bagi kaum konservatif, mereka yang menderita, miskin butahuruf, dsb itu dikarenakan salah mereka sendiri. Kaum konservatif sangat melihat pentingnya harmoni dalam masyarakat dan menghindarkan konflik dan kontradiksi.
Paradigma Liberal
Kaum liberal dan konservatif sama-sama berpendirian bahwa pendidikan adalah apolitik dan excellent haruslah merupakan target utama pendidikan. Kaum liberal beranggapan bahwa masalah masyaratakat dan pendidikan adalah dua masalah yang berbeda. Paradigma liberal lebih moderat, menurut mereka memang ada masalah di masyarakat tetapi pendidikan tidak ada kaitannya dengan persoalan politik dan ekonomi masyarakat. Tradisi individualisme dan pengutamaan terhadap prestasi, keunggulan, kemampuan akademik adalah ciri-ciri mereka, dengan penekanan pada aspek kompetitifnya. Mungkin kategori inilah yang saat ini dipraktekan oleh pendidikan nasional kita, dengan fenomena banyaknya sekolah-sekolah unggulan, iming-iming beasiswa, hingga sistem belajar KTSP, dll.
Paradigma Kritis
Berbeda dengan paradigma diatas adalah paradigma kritis yang baginya pendidikan harus menciptakan sikap kritis terhadap sistem dan dominan sebagai pemihakan terhadap rakyat kecil dan tertindas untuk menciptakan sebuah sistem sosial baru yang lebih adil. Termasuk dalam kategori paradigma ketiga inilah konsep-konsep yang diajukan oleh Paulo Freire sebagai bentuk advokasi nyata pada rakyat tertindas dan terzalimi.
Pendidikan bagi mereka merupakan arena perjuangan politik. Jika bagi konservatif pendidikan bertujuan untuk menjaga status quo, sementara bagi kaum liberal untuk pwerubahan moderat, maka paradigma pendidikan kritis menghendaki perubahan struktur secara fundamental dalam politik ekonomi masyarakat dimana pendidikan berada. Paham ini bertentangan dengan pandangan kaum liberal dimana pendidikan dianggap terlepas dari persoalan kelas dan gender yang ada dalam masyarakat.
Dalam perspektif kritis, urusan pendidikan adalah melakukan refleksi kritis, terhadap ’the dominant ideology’ ke arah transformasi sosial. Tugas utama pendidikan adalah menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi menuju sistem sosial yang lebih adil. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa bersikap netral, bersikap obyektif maupun berjarak dengan masyarakat seperti anjuran positivisme. Dalam perspektif kritis, pendidikan harus ampu menciutkan ruang untuk mengidentifikasi dan menganalisis secara bebas dan kritis untuk transformasi sosial. Dengan kata lain tugas utama pendidikan adalah ‘memanusiakan kembali manusia’ yang mengalami dehumanisasi karena sistem dan struktur yang tidak adil.
Imbas Paradigma dalam Metode Pendidikan
Bagaimana implikasi ketiga pandangan tersebut terhadap metodologi pendekatan pendidikan. Freire (1970) membagi ideologi pendidikan dalam tiga kerangka yang didasarkan pada kesadaran ideologi masyarakat. Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa pendidikan adalah proses manusiakan kembali manusia. Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, budaya, membuat masyarakat mengalami proses dehumanisasi. Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat justru manjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi ; kesadaran magis, kesadaran naif, dan kesadaran kritis. Bagaimana kesadaran tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut :
Pertama, kesadaran magis sebagai suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu mengetahui kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka proses belajar mengajar tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka proses belajar mengajar tersebut dalam perspektif freirean disebut sebagai pendidikan balistik. Proses pendidikan model ini tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap satu permasalahan masyarakat. Mahasiswa secara dogmatik menerima ‘kebenaran’ dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi dari setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Kedua, kesadaran naif. Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia menjadi akar penyebab masalah. Dalam kesadaran ini ‘masalah etika’ kreativitas dianggap sebagai penentu perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi mereka disebabkan karena salah mereka sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya membangun. Pendidikan dalam konteks ini juga tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar, merupakan faktor given dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan. Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar Mahasiswa bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut.
Ketiga, kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih Mahasiswa untuk mampu mengidentifikasi ‘ketidakadilan’ dalam sistem dan struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan keselamatan agar peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan lebih baik.
Sistem Pendidikan Kita
Dunia kampus merupakan harapan besar kita agar tercipta sebuah proses pendidikan kritis yang mampu menciptakan suasana dialogis dalam arti yang sebenarnya tidak dalam situasi hegemonis dan dominatif seperti yang banyak terjadi dalam praktek pendidikan pada umumnya. Sangat menarik dalam hal ini bila kita mengutip pendapat Azyumardi Azra yang mengatakan bahwa hingga saat ini sistem dan metode yang banyak dipakai di IAIN adalah lebih banyak mengikuti pada pendidikan gaya bank (The Banking Concept of Education) yang kurang memberi kesempatan pada pengembangan kualitas mahasiswa secara maksimal. Pola komunikasinya lebih bersifat satu arah dengan guru sebagai figur sentral.
Ciri-ciri konkret pendidikan gaya bank adalah : 1. Guru mengajar, Mahasiswa diajar, 2. Guru mengetahui sesuatu dan Mahasiswa tidak mengetahui apa-apa, 3. Guru berpikir dan Mahasiswa dipikirkan, 4. Guru bercerita dan Mahasiswa patuh mendengarkan, 5. Guru menentukan peraturan dan Mahasiswa diatur, 6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, Mahasiswa menyetujui, 7. Guru berbuat,Mahasiswa membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan gurunya, 8. Guru memilih bahan pelajaran, Mahasiswa tanpa diminta pendapatnya menyesuaikan diri dengan pelajaran itu, 9.guru mencampur adukkan kewenangan ilmu pengetahuan dan jabatannya yang dilakukan untuk menghalangi kebebasan Mahasiswa, 10. Guru adalah subyek dalam proses belajar dan mengajar, Mahasiswa hanya obyek belaka. Penempatan Mahasiswa seperti ini jelas tidak sesuai dengan kodrat manusia yang terlahir sebagai subyek yang harus mengada ke dunia secara bebas.
Sebagai solusi dalam mengatasi penindasan yang telah masuk dalam lapangan pendidikan ini Freire menawarkan konsep pendidikan hadap masalah (Problem Possing) sebagai jalan keluar. Konsep ini menempatkan guru dan Mahasiswa sebagai subyek dalam sebuah proses pendidikan. Dan realitas dunialah yang dijadikan obyek. Tujuan pendidikan sebagai tabungan harus diganti dengan penghadapan pada masalah-masalah manusia dalam hubungannya dengan dunia. Kini pendidikan bukanlah lagi sebuah proses transfer ilmu dari guru dan Mahasiswa, sebab keduanya kini bersama-sama dalam suasana dialogis membuka cakrawala realita dunia.
Dialog merupakan sarana yang harus ada dalam proses ini. Sehingga pendidikan menjadi tanggung jawab bersama guru dan Mahasiswa. Proses dialog inipun tidak boleh menjadi proses yang hegemonis dan dominatif yang berpihak pada guru, namun haruslah menjadi sebuah motivasi munculnya kesadaran-kesadaran kritis baik dari guru ataupun Mahasiswa khususnya. Sehingga proses ini akan senantiasa merefleksikan antara pengalaman Mahasiswa dan guru. Di sini guru menyajikan pelajarannya kepada Mahasiswa sebagai bahan pemikiran mereka dan menguji kembali pemikirannya terdahulu ketika Mahasiswa mengemukakan hasil pemikirannya sendiri. Peran pendidik disini adalah bersama-sama dengan Mahasiswa menciptakan pengetahuan sejati yang tidak bersifat dogmatis. Mahasiswa disini diusahakan dapat mengungkapkan segala sesuatu dengan bahasa mereka, pendapat mereka, sebagai sebuah proses yang selalu menjadi dan belum selesai. Karena manusia adalah makhluk yang terus manjawab tantangan realitas dunia agar ia dapat mengada dengan sejati, dan bukan diatur, ditentukan atau didikte orang lain.
Menakar Sebuah Gaya Hidup
Sebagaimaana paradigma konservatif yang telah dijelaskan memiliki keinginan mewujudkan kondisi status quo. Kainginan untuk mewujudkan kondisi yang kondusif (tidak ada hingar bingar kritik) akan melanggengkan berlangsungnya sebuah intimidasi kekuasaan. Sehingga spirit awal pendidikan yang menerangi jalan hidup manusia beralih menjadi institusi yang melegitimasi tindak dehumanisasi. Dengan menjaadikan pendidikan sebagai gaya hidup baru, setiap orang yang mengecap pendidikan tidak lagi memikirkan substansi dasar yang menarik mereka masuk dalam dunia pendidikan, sehingga timbullah kondisi buta arah atau disorientasi tujuan pendidikan yang akan melahirkan manusia-maanusia dengan naluri intimidasi baru dengan perangkat pengetahuannya.
Dalam pandangan liberal, pendidikan yang diposisikan berbeda dengan politik dan kekuasaan menjadikan pendidikan tidak lagi memiliki taring, aspek humanisasi kemudian terpinggirkan dan ilmu pengetahuan tidak bisa berbuat banyak selain perangkat yang digunakan untuk mengelola sumber daya alam dalam rangka pemenuhuan kebutuhan hidup manusia.
Akhirnya, wacana menggaya-hidupkan pendidikan harus diobati dengan paradigma kritis yang harus dibangun. Paradigma kritis sekaligus bisa menjadi suatu jalan keluar bagaimana ilmu pengetahuan keluar dari jeratan kepentingan kekuasaan. Ilmu pengetahuan tidak boleh dipersempit ke dalam aspek-aspek tertentu demi memujudkan manusia dengan kapasitas keilmuan yang holistik.
Bahan bacaan: Pendidikan Popular, Disunting oleh Mansour Fakih, Roem Topatimasang, dan Toto Raharjo Read Book 2000
____________________________
Cheng Prudjung adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang dan salah satu warga PMII UMM.
Baca artikel atau tulisan Ucheng lainnya di Blog Anak Komunikasi
Baca artikel atau tulisan Ucheng lainnya di Blog Anak Komunikasi

bagus cheng. Mau magang di newsletter nya simpuldemokrasi? tx
BalasHapusboleh mas! keren tuh...
BalasHapusgmna dapt info nya mas?