KETIKA MAHASISWA MENJADI “ANJING HERDER” BIROKRAT

0


Terkisahlah pada suatu masa di sebuah kampus antah berantah, tepatnya kisah tentang sebuah fakultas yang bernaung di dalamnya, yang seringkali disebut fakultas “rimba aksara.” Mengapa disebut demikian? Konon sebutan itu lahir dikarenakan keberanekaragaman yang tumbuh subur di fakultas tersebut. Layaknya sebuah hutan rimba yang ditumbuhi bermacam-macam tanaman, di fakultas ini berkembanglah secara damai bermacam-macam hasil pemikiran manusia yang tertuang dalam diktat perkuliahan dan gaya hidup penghuni di dalamnya. Kata “rimba” mewakili sifat keanekaragaman dan “aksara” merepresentasikan “hasil pemikiran manusia.”

Di fakultas ini, kita akan menjumpai orang-orang yang mempertanyakan jati dirinya, mempertanyakan apapun mulai dari batu yang berserakan di jalanan sampai memperdebatkan keberadaan Tuhan. Roh-roh para pemikir dunia bergentayangan di fakultas ini. Ide-ide kontroversial milik Karl Marx, Derrida, Choamsky, Gramsci, Foucault, Freud dan Nietzsche seolah menjelma dalam diri para senior intelek yang turut “mendakwahkan” ajaran para tokoh tersebut kepada para juniornya yang kerap dipanggil “mahasiswa.”

Gaya hidup penghuni yang mendiami fakultas ini pun bercorak warnanya. Dari pemilik rambut rebonding sampai kribo, dari pemakai kerudung mencekik leher sampai yang bercadar, dari perempuan bertelanjang paha sampai berjubah lebar, dari orang yang rajin sholat lima waktu sampai orang yang menertawakan orang sholat, dari pemakai celana pensil ketat sampai celana longgar cingkrang, dari orang yang gemar menyampaikan ilmu Tuhan sampai orang yang meragukan eksistensi Tuhan. Semuanya ada di fakultas ini. Bagaikan adonan kue yang sudah terlumat semua bahan dasarnya, fakultas ini semakin lama semakin mengental sifat multikuturalnya. Karena telah menjadi ciri khas, maka ciri ini lambat laun menjelma menjadi sebuah kebanggaan tersendiri yang seolah harus dipertahankan. Mempertahankannya adalah dengan membiarkan semuanya tumbuh subur, satu sama lain harus saling menghormati pendapat, pola pikir dan gaya hidup masing-masing dan tidak boleh memaksakan pendapat.

Namun entah mengapa, seolah ada yang janggal dari fakultas ini yaitu beberapa tingkah para pemangku kekuasaan. Yang menimbulkan tanda tanya besar adalah jikalah semua pemikiran itu harus dibiarkan tumbuh subur, kenapa lambat laun muncul sentimentil beberapa orang dari pemangku kekuasaan tersebut terhadap sebuah gaya hidup yang konon pernah berkembang di fakultas itu, yaitu gaya hidup Islami. Tak jelas motif di balik sikap sentimentil yang berbuah malapetaka seperti halnya bom waktu itu. Yang jelas telah terjadi penggusuran apapun yang berbau Islam seperti buletin Islam, mading Islam, kajian-kajian keislaman, sampai organisasi Islam. Pernah terlontar sekali dari salah satu pemegang kekuasaan tertinggi di fakultas itu bahwa dia tidak ingin mahasiswanya tercemar oleh aktivitas terorisme. Namun, dia tak memberi analisis pasti, apa korelasinya organisasi keislaman dengan terorisme?

Kejanggalan kedua datangnya dari para mahasiswa yang katanya disebut aktivis – mengingat mereka duduk di jajaran kursi Badan Eksekutif Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Layaknya virus yang menular, para aktivis ini turut menebar atmosfer sentimentil terhadap para pembawa misi Islam tadi. Hanya saja, dalih mereka agak berbeda, yakni Peraturan DIKTI (Pendidikan Tinggi) yang melarang OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus) masuk kampus. Mereka menganggap aktivitas keislaman dan ide-ide Islam yang masih tercium di fakultas tersebut berasal dari Organisasi Mahasiswa Ekstra Kampus yang akrab disebut OMEK. Menurut penafsiran mereka terhadap peraturan DIKTI terkait OMEK adalah “haram” bagi OMEK menginjak halaman kampus termasuk pekarangan fakultas “rimba aksara.” Mungkin mereka berpikir, bukankah organisasi keislaman sudah dihapuskan, kenapa masih saja banyak selebaran tentang Islam bertebaran di kampus. Pasti itu adalah ulah OMEK, mungkin begitu pikir mereka sehingga mereka merasa perlu untuk ambil tindakan mengusir OMEK dari ranah fakultas mereka demi menaati peraturan DIKTI yang mereka tafsirkan sendiri.

Alasan kedua atas keengganan mereka menerima OMEK adalah menjaga kenetralan kampus “rimba aksara” yang sudah terpelihara dari tahun ke tahun. Mereka rupanya sakit hati pada pemerintahan kemahasiswaan di fakultas lain yang syarat akan kepentingan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh golongan OMEK tertentu. Tapi, benarkah demikian alasan utamanya?

Nampaknya, dari alasan-alasan itulah yang kemudian mengundang beberapa kejanggalan. Jika memang mereka berdalih peraturan DIKTI, bukankah yang dilarang adalah kegiatan OMEK secara kelembagaan atau membuat kesekretariatan di dalam kampus. Sedangkan dalam peraturan tersebut tidak ada pelarangan terhadap aktivitas individu anggota OMEK untuk menyampaikan ide-idenya atau berinteraksi dengan individu lain di dalam kampus. Kejanggalan kedua, jika mereka tak suka OMEK, kenapa di dalam jajaran pemerintahan mereka masih bercokol orang-orang dari kalangan OMEK? Di mana letak netralnya? Apa hanya karena gaungnya tak sekeras di fakultas lainnya? Jika mereka masih saja sentimen pada OMEK yang berusaha menghembuskan nafasnya di dalam kampus, kenapa yang disasar hanya orang-orang yang kental sekali simbol keislamannya, misalnya yang berkerudung lebar dan bercelana cingkrang? Bukankah OMEK itu bermacam-macam dan banyak jumlahnya?

Pernah pada suatu ketika, saat kampus mengadakan perhelatan besar – menyambut kedatangan mahasiswa baru (maba) – para aktivis sentimentil itu beraksi dengan bersiap siaga di semua pintu keluar-masuk kampus bak harimau siap menerkam mangsanya. Tujuannya adalah mengahadang orang-orang OMEK yang bermaksud kenal dekat dengan mahasiswa baru. Agar mahasiswa baru yang polos tidak terwarnai oleh bujuk rayu OMEK, begitu kata mereka. Mereka tak ingin seorang pun dari pihak OMEK menjebol pertahanan mereka walaupun sekedar menyebarkan selebaran berisi informasi rumah kos kepada para maba. Pada saat itu memang banyak aktivis OMEK yang menyebarkan selebaran, entah isinya apa, yang pasti mereka sudah menaati peraturan yang dikumandangkan pihak kampus untuk tidak menyebar apapun di dalam area kampus. Namun, sayang seribu sayang, ada beberapa aktivis perempuan berkerudung lebar dari OMEK tertentu berhasil terkejar dan tertangkap oleh para “aktivis-berlagak satpam” tadi meski itu sudah di luar area kampus. Sungguh sangat tidak etis jika beberapa aktivis laki-laki mengeroyok aktivis perempuan hanya perkara yang sebenarnya remeh. Di mana letak sopan santun mereka? Apa mereka sudah lupa adabnya untuk bicara baik-baik? Dan mereka semua adalah mahasiswa, sekali lagi mahasiswa.

Apa para mahasiswa itu tak sadar bahwa nyawa organisasi intra kampus pasti akan kental dengan idealisme OMEK. Lagipula kan yang dilarang eksistensi kelembagaan OMEK di dalam kampus bukan aktivitas interaksi individu OMEK di dalam kampus. Tak bisa dipungkiri, meski OMEK tak boleh menembus area kampus, namun idealisme anggotanya masih memberikan kontribusi positif dalam mewujudkan organisasi pergerakan mahasiswa sejati. Memang, ada juga OMEK yang menyalahgunakan kekuasaannya di jajaran ORMAWA kampus. Namun, tidak semua dan tidak bisa digeneralisir. Masih ada OMEK yang mampu menyalurkan atmosfer idealisme positif bagi mahasiswa kampus karena ciri OMEK biasanya adalah membawa idealisme peregerakan mahasiswa yang harus berkontribusi ke arah yang lebih baik. Jikalau boleh bertanya dengan jujur (dan silakan jawab dengan jujur pula) organisasi intra kampus – yang katanya harus netral dari OMEK itu – punya idealisme apa untuk menggerakkan anggotanya? Paling-paling yang ada hanyalah struktur organisasi yang tercantum dalam Surat Keterangan dari Dekan dan program kerja praktis yang jauh dari tujuan membangkitkan semangat pergerakan mahasiswa seperti merayakan ulang tahun jurusan, lomba-lomba dan cangkruan.

Harusnya, jika mereka memang sakit hati dengan OMEK yang suka memperebutkan kekuasaan, jangan lantas memukul rata semua OMEK. Mereka harus pandai memilah. Katanya ingin netral, tapi kenapa justru bertindak brutal dengan “menikam” OMEK. Bersikap netral bukan kemudian membredel tanpa ada komunikasi dua arah, justru mungkin akan terkesan lebih bijak jika mereka menjadi penengah pihak-pihak yang berbeda dengan duduk bersama dalam satu meja dan melakukan diskusi sehat yang bisa mengantarkan pada eratnya ikatan persaudaraan bukan main tikam sembarang orang. Bukankah ini lebih bagus? lebih bersahabat?

Tapi, sekali lagi benarkah mereka sentimen terhadap OMEK yang menyalahgunakan wewenang ataukah pada OMEK yang giat menyerukan nafas Islam?

Jika dilihat lagi, aksi penggusuran organisasi keislaman oleh pemangku kekuasaan di fakultas “rimba aksara” dan para aktivis organisasi kemahasiswaannya sepertinya setali tiga uang. Mereka sama-sama sentimen terhadap simbol-simbol Islam meski alasan yang ditampakkan berbeda. Nah, kondisi ini semakin parah saat pemangku kekuasaan tersebut seolah mendapatkan “ajudan” sukarelawan dengan mengajak serta para aktivis tersebut untuk mendukung misinya dalam memberantas simbol Islam dan kegiatan keislaman di area kekuasaannya. Pada tahun-tahun berikutnya, para pemangku kekuasaan tak perlu susah-susah turun ke lapangan mengawasi area kekuasaannya, cukup dengan mengutus para aktivis yang sama sentimentilnya dengan mereka itu untuk kembali memasang kuda-kuda agar orang-orang yang kental sekali aktivitas keislamannya tak lagi berkeliaran bebas di pekarangannya. Apalagi jika mereka ingin berkenalan dengan mahasiswa baru. Orang-orang sentimen itu tak sudi mahasiswa barunya berteman baik dengan para aktivis Islami. Mereka tak sudi maba menjadi tertarik membaca buletin Islam, mengkaji Islam dan tergabung dalam organisasi keislaman. Apakah ini bisa disebut makar? Ya, bisa jadi demikian.

Ketika telah terjalin simbiosis mutualisme antara birokrat dan aktivis ormawa ini maka sudah bisa dipastikan ide Islam akan sulit tersebar di fakultas ini tidak seperti ide dari paham-paham liberal lainnya yang masih – bahkan sengaja – dibiarkan berkembang dengan pesat seperti paham demokrasi, sosialisme dan feminisme. Namun, sepertinya itu tidak akan menyurutkan semangat para penebar paham Islam di fakultas tersebut untuk terus menyuarakan Islam karena mereka yakin bahwa makar Allah jauh labih dahsyat daripada makar manusia. Jadi, biarlah Allah saja yang membalas amal mereka. Begitu kata mereka.

Inilah janggalnya fakultas “rimba aksara.” Katanya harus menghormati perbedaan, menghargai apapun yang ada di dalam fakultas, tetapi kenapa paham Islam justru susah payah diberangus habis. Ini semacam sikap inkonsisten. Lebih jauh lagi, kenapa mereka sentimen dengan paham Islam? Bukankah mereka juga umat Islam? Kenapa mereka justru lebih mencintai paham dan gaya hidup orang asing yang berbau liberalisme dan hedonisme sehingga dibiarkan saja tumbuh subur, bahkan dipelihara dalam materi perkuliahan dan dirayakan dalam kegiatan-kegiatan semacam inagurasi, festival dan promnight.

Apa salahnya dengan buletin keislaman? Organisasi keislaman? Kajian keislaman? Orang-orang berkerudung lebar dan bercelana cingkrang? Di mana letak kesalahan dari semua itu? Apakah keberadaan mereka mengancam nyawa warga “rimba aksara.”

Jika para aktivis ormawa bebas mengajak siapa pun termasuk mahasiswa baru untuk berhura-hura dalam kegiatan inagurasi yang bahkan bisa jadi melanggar jam sholat, kenapa orang yang mengajak ke dalam majelis ilmu Islam dibredel habis-habisan. Hanya dengan alasan “terorisme” yang tak mendasar itu? Atau dengan menunggangi peraturan DIKTI dan semboyan “netral” dari OMEK yang digaungkan para aktivis ORMAWA?

Dan yang menyedihkan, ketika para mahasiswa aktivis “berpaham netralisme” itu – dengan berbekal sentimentil tak berdasar – menjadi “anjing herder” birokrat yang diktator – birokrat yang sudah dengan jelas mengatakan tak suka dengan organisasi keislaman mahasiswa – pada akhirnya mereka menjadi lupa bahwa mereka berhadapan dan memusuhi saudara mereka sendiri, saudara sesama mahasiswa, seaqidah, yakni Aqidah Islam. Sungguh miris.

 

Leave a Reply