Kentutnya Pythagoras dan Martin Heidegger

0



Oleh : Hasrul Zakariya (@jiwa_jaka)

“Aku putra bumi dan langit penuh bintang; namun aku bangsa langit (saja). Dan kau tahu siapa dirimu. Dan lihatlah, aku sengsara karena haus dan akan binasa. Cepatlah beri akau air sejuk yang memancar dari danau ingatan. Dan sesudahnya kau akan berjaya di antara pahlawan lainnya…”
Prasasti Patelia Yunani Kuno, sudah ada pada ribuan SM, akan tetapi sajak dalam ukiran tak pernah kusut karna zaman. Keindahan sajak menjadi getaran dalam jiwa yang tak pernah mati. Mahluk dimana terjebak pada lingkupan para titan (mahluk duniawi) dan bacchi (para dewa). Pertempuran dan pembantaian antar dua pihak dalam legenda menjadi awal arah peradaban di dunia.

Yunani kuno terkenal dengan semangat juangnya yang tak pernah untuk menyerah, ketika tekat sudah membulat Tuhanpun (dewa) kalau menghadang pasti akan di tantang. Pertempuran demi pertempuran yang dilakukan sehingga memenangkan pihal para dewa, sehingga mahluk hewani yang menjadi tumbal bagi para dewa yang meminta tumbal tersebut.

Pada Abad ke 610-560an SM sinar matahari menerangi kota Milesian Asian kecil yunani sana. Karna berkat seorang filsuf yang dianggap pertama kali berani mencetuskan teori “segalanya berawal dari air” yaitu thales. Meski teori yang di cetuskan jauh melenceng dari sisi rasionalitas dan kebenaran, tpi thales berasi menceratus kan suatu faham yang mana kondisi masyarakat sangat melekat dengan adanya dewa di masa itu.

Thales bukan hanya dari teori air saja yang membuat namanya terangkat, melaikan juga kepandaiandan kepiawaiannya untuk memprediksi bulan kemarau dll.

Filsuf kedua, anaximander yang mana menganggap bahwa subtansi bukan ada di air, karna subtansi tidak bergantung pada satu asalai saja melainkan banyak asali dan subtansi.

Jika subtansi bergantu pada satu asali, akan menghilangkan subtansi yang lainnya. Pernyataan dari anaximander sangat susah di tebak oleh para filsuf modern yang menganggap bahwa, seorang bayi yang baru lahir tidak akan menjadi dewasa kalau tidak ada subtansi-subtansi lain yang menopangnya untuk dewasa.

Teori pokok dari anaximander adalah udara yang menjadi teori dasar. Yang mana menganggap uda sebagai jiwa, api adalah udara yang encer, jika di padatkan maka udara akan menjadi air, jika dipadatkan lagi akan menjadi tanah dan seterusnya akan menjadi batu yang membeku.

Pada abad 532 SM. Tampil seorang pendekar yang bernama Pythagoras yang mana menurut penulis teori yang di cetuskkan takkan pernah hancur dari zaman ke zaman.

Pythagoras terkenal dengan bapak matematika pertama kali, apalah dayang sang penulis tidak terlalu mengerti tentang matematika, jadi hematnya untuk sedikit memaparkan dari teori sosial metafisik/mistisisme yang di kombinasikan dengan matematikanya.

“kita adalah orang-orang asing di dunia ini, dan tubuh adalah kuburan bagi jiwa, akan tetapi tak seyogyanya kita membebaskan diri dengan jalan bunuh diri; sebab kita milik adalah milik tuhan yang merupakan gembala kita, dan tanpa perintahnya kita tak berhak untuk bebas”

Kalau kita takwil kembali kedalam realitas kehidupan nyata, yang mana sedang berkeasi di lingkupan organisasi sebagai mahasiswa tentunya. Bahwa kita sebagai orang yang hidup di lingkungan kampus, kiranya hanya membutuhkan waktu 4 Tahun lamanya untuk melakukan proses studi di lingkupan kampus.

Bukan hakekat waktu selamanya untuk berproses di lingkungan kampus, akan tetapi hanya sebagai batu singgahan untuk melakukan proses pencarian ilmu meskipun ada sesekali untuk mencari ijazah saja.

Kampus tersebut akan menjadi kuburan bagi pikiran dan jiwa kita, karna seorang yang melakukan interaksi dan proses di kampus bisa jadi secara keseluruhan interaksi yang di peroleh dari kampus tersebut. Penjara pikiran yang dilakukan oleh kampus terhadap mahasiswa yang hanya berorentasi pada masa depan pribadi tanpa ada kondisi sosial diluar kampus yang harus dipikirkan.

Dari sisi priritual telah terbukti bahwa kampus Universitas Muhammadiyah Malang mewajibkan memakai jilbab dan seragam hitam putih, munkin prediksi dari pihak birokrat kampus supaya menjadi mahasiswa yang rapi dan teladan untuk menghadapi lingkupan kerja.

Nyatanya meski seluruh dari mahasiswa di wajibkan untuk memakai jilbab bahkan yang Non-Muslim di paksakan, ternyata ayam kampusnya di lingkukan malang paling banyak dari kampus UMM. Dipungkiri atau tidak memang niat untuk menjadikan Citra saja dari birokrat kampus tidak bisa menyogok Tuhan untuk ber-Empati terhadap diluar lingkungan kampus UMM.

“ada tiga jenis manusia, sebagaimana ada tiga macam hal layak mengunjungi pertandingan olympiade. Kelas terendah terdiri dari mereka yang datang untuk membagi dan menjual, kelas diatasnya adalah mereka yang bertanding, Namun yang terbaik diantara semuanya adalah mereka yang datang hanya untuk menonton. Penyucian tertinggi diantara semuanya dengan demikian adalah ilmu pengetahuan yang bebas dari pamrih, dan manusia yang mengabdikan diri dari bidang itulah yakni seorang filsuf sejati, yang paling berasil membebaskan dirinya dari kelahiran”

Jika tiga jenis manusia dalam konsep Pythagoras kita takwilkan kepada kehidupan Mahasiswa, maka mahasiswa mempunyai tiga pilihan dalam ber-Mahasiswa untuk masyarakat. Mahasiswa yang hanya menjual dirinya dan memberikan bantuan Cuma-Cuma terhadap kampunya dan tidak mau melihat kondisi sosial yang ada di luar kampunya.

Bisa kita teliti lebih lanjut, bahwa mahasiswa yang hanya tampil di dalam kelas tidak akan bisa ber-interaksi keluar kampus, bagaikan ayam yang mengeram telurnya yang hanya bisa menanti keluarnya ijazah.

Padahal tidak ada kepastian untuk lingkungan kerja dari kampus, jika sudah tau tidak ada kepastian, maka mahasiswa semacam ini tidak mau mencari untuk bahagai mana melatih skill dari pandangan pekerjaan yang mau di kelutinya.

Jika hidup hanya sekedar tontonan belaka. Maka apakah ijasah yang kita keluti selama 4 Tahun lamanya (kalau tidak nunggak) masih diperlukan?

Menurut imam Ghazali di ihya’ ulumuddin, bahwa orang yang mencari ilmu akan melakukan proses mua’alim (mengajar). Artinya ketika ilmu kita pelajari maka seharusnya kita mentranformasikan hasil belajar kita kepada orang lain agar menjadi orang yang alim. Setidaknya hasil dari proses belajar di implemenasikan atau di coba secara praktis, entah hasilnya apa kemudian.
“berjayalah, engkau yang menanggung derita… dari manusia engakau menjadi dewata”
 
 Dalam Eksistensialisme Martin Heidegger, fakta adanya sesuatu menunjuk pada adanya realitas “mahasiswa”. Fenomen fundamental dalam arti bahwa eksistensi merupakan dasar dari titik referensi untuk menentukan makna dan adanya realitas yang ada.
 
Fenomena yang ada bisa diartikan bahwa mahasiswa lebih mempunyai cakupan yang lebih luas bukan hanya belajar, akan tetapi sebagai cakupan dari sosial masyarakat, pemerintah dll. Mahasiswa bukanlah suatu pemikiran akan tetapi sebuah keberadaan. Kalau kita tarik ke struktur mahasiswa, mahasiswa merupakan mahasiswa mutlak yang prakteknya belajar atau diajarin, berbuat atau dibuatin, dan bebas dari kebodohan atau masih dinaungan kebodohan.
 
 Keberadanaan mahasiswa hanya dapat dimengerti sebagai kebebasan atau kemampuan untuk menentukan pilihan-pilihan yang dianggap benar. Setiap mahasiswa tidak memiliki kodrat yang sudah jadi, melainkan selalu dengan bebas untuk memilih sesuai yang di inginkan dirinya sendiri.

Mahasiswa merupakan mahluk yang menyatu dengan kampus dan lingkungan diluar kampusnya, tentunya untuk menghadapi interaksi didalam kampus dan diluar kampusnya juga. Tidak salah ketika mahasiswa selalu berfikir, berbuat, memberikan sumbangsih gagasannya kepada kampus dan bangsanya, tanpa nilai-nilai materi dan selalu idealism. Itulah salah satu fakta bahwa mahasiswa adalah mahluk yang kongkret di dunia yang kongkret.

Proses dalam menjadi mahasiswa yang seutuhnya tidak begitu susah, pengenalan mahasiswa yang terbaik adalah kesibukan dan kerepotan. Dari berbagai kesibukan yang dibuatnya sendiri seorang mahahsiswa akan lebih kenal dengan jati dirinya sesuai dengan title yang di sandangnya sebagai mahasiswa (agen of change).

Di dalam kampus munkin kita sering melihat orang yang berbeda, dari warna rambut, warna kulit ataupun karakter. Dengan demikian berbeda kerakan dan cara pandang yang dimiliki oleh mahasiswa untuk mengaktulialkannya. Tapi tidak dinafiqkan mahasiswa hidup di dunia yang sama dan mempunyai tujuan yang sama keyakinan gerakan yang dimilikinya bukanlah suatu halangan untuk melakukan perobahan yang sama. Munkin ini yang dinamakan keperbedaan sebagai Rahmat.

Leave a Reply