Orde Baru Bangkit Lagi di Kampus
Oleh : Hasrul Zakariya (Jaka)
Ketika
hati bosan dan selalu terbungkam, maka lontaran Sang Singapun mengaung keras dan lantang. Saat ketertindasan dan ketidakadilan kita terima, maka pastilah perlawanan menjadi bahasa kita. Begitulah yang dirasakan oleh seorang aktifis PMII
UMM, selalu saja didholimi oleh kampusnya sendiri.
Ini adalah bahasa kegelisahan hati seorang aktifis ketika "tidak bisa berbuat apa-apa", atau ketika era kebebasan berfikir selalu digencet dan dibuang. Tragisnya, ini dilakukan oleh "ayah kandung" sendiri, di dalam kampus megah yang sudah kita anggap "rumah sendiri". Kejadian kotra demokrasi yang memilukan ditengah isu transparasi di era good Governance. Sebaliknya, kampus berfikir bahwa kebeasan dan demokrasi ini adalah penyakit menular, atau virus endemis yang membahayakan.
Inilah kisah seorang aktifis yang selalu menggunakan akal pikirannya untuk melakukan cita-cita perubahannya. Sejujurnya ini tidak sendirian. Ekspektasi perubahan ini diimpikan oleh sebagian besar mahasiswa tersadarkan, khususnya para organisasi ekstra kampus. Akan tetapi siapa yang berani menyampaikan kekeluan bibir ini? Siapa yang berani keluar dari pakem kotak yang dirancang sedemikian kuat oleh sistem birokrasi kampus?
Birokrasi kampus masih saja menganggap tidak ada kaitannya dengan Organisasi Ekstra kampus karena tidak mendapat SK dari pihak Rektorat. Itu salah satu alasan dari birokrasi kampus untuk tidak mengaitkan segala kegiatan mahasiswa yang ada di Organisasi Ekstra kampus.Tumbuh "sakit hati" yang mendalam. Tubuh ini seolah selalu teralienasi karena tidak mempunyai kepemilikan didalam kampus yang dibayarnya setiap semester. Berbagai fasilitas yang sangat luar biasa mewah hanya menjadi simbol dari kebesaran kampus. Tapi, ketika beberapa kelompok mahasiswa meminjam sejengkal ruangnya untuk kepentingan intelektual dan kajian kepemudaan, maka satpam kampus tiba-tiba merubah diri perannya seperti Satpol PP. Tidak hanya "sejengkal" tanah di dalam kampus, akan tetapi sampai di bibir depan kampus. Semua "haram" digunakan.
Kegiatan-kegiatan
mahasiswa hal layak yang dilakukan mahasiswa seperti diskusi, pelatihan,
seminar, kajian dan kegiatan-kegiatan yang lain sudah menjadi dogma larangan
bagi kampus. Lalu kemudian "apa gunanya" kita kuliah yang menyandang
kata MAHA-siswa yang tidak bisa disamakan dengan kata SISWA. Masih sakral dan berbedakah identitas "mahasiswa" ini dengan "siswa"?
Sakit hati itu kian menggurita, dan mencapai puncaknya pada Kamis 27 September 2012 pada acara @MataNajwa yang dihadiri oleh Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H., S.U. dan Dr. Anies Rasyid Baswedan, MS di aula megah DOM kampus. Bagi intelektual kritis transformatif, ini satu kali kesempatan penting untuk bertanya, atau bisa jadi tidak ada kesempatan kedua kalinya. Ini adalah kegiatan kampus dengan bargaining tinggi, intelek, dan yang yang terpenting adalah kehadiran tokoh nasional dan media. Kita semua tahu, media mentrans-formasikan diri menjadi tangan rakyat, bahkan "tangan tuhan" diera keterbukaan ini.
Pada saat acara itulah seorang aktifis PMII menanyakan bagaimana solusi tentang proses kepemimpinan di kampus yang katanya materi ilmu kepemimpinan hanya 20%. Selebihnya (80%) diperoleh di luar kampus seperti organisasi Intra dan Ektrakulikuler. Tidak hanya itu, ruang lingkup kepemimpinan juga diberi space yang sangat kecil, bahkan ada indikasi untuk diharamkan dengan "membunuh" Organisasi Ekstra kampus, karena ruangnya yang SANGAT DIBATASI! Itulah pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang mahasiswa aktifis PMII.
Pada saat acara itulah seorang aktifis PMII menanyakan bagaimana solusi tentang proses kepemimpinan di kampus yang katanya materi ilmu kepemimpinan hanya 20%. Selebihnya (80%) diperoleh di luar kampus seperti organisasi Intra dan Ektrakulikuler. Tidak hanya itu, ruang lingkup kepemimpinan juga diberi space yang sangat kecil, bahkan ada indikasi untuk diharamkan dengan "membunuh" Organisasi Ekstra kampus, karena ruangnya yang SANGAT DIBATASI! Itulah pertanyaan yang dilontarkan oleh seorang mahasiswa aktifis PMII.
Sebelum
pertanyaan selesai dari penanya, seorang birokrat kampus menyerobot mic yang
dipegang oleh penanya. Dengan arogansi dan kekecewaan atas pertanyaan tersebut,
pihak kampus itu berupaya menggelandang penanya keluar. Kalah sigap dan tidak
menduga, aktifis yang melontarkan pertanyaan dirangkul dan diculik
untuk di investigasi oleh kampus. Terjadi sedikit kericuhan. Spontan teman-teman
OMEK yang merasa terwakili oleh si penanya berupaya menyelamatkan penanya dari
pihak birokrat.
Seraya
sahabat-sahabat dari PMII dan teman-teman OMEK yang lain berkumpul untuk
membebaskan aktifis yang mempunyai keberanian lebih itu. Selang beberapa jam
kemudian aktifis yang bertanya ternyata sudah di lepas dan keluar dari ruang
investigasi bawah DOME UMM.
Ketika penanya keluar dan kita bawa lari kedepan kampus tepatnya di warung kopi untuk kami tanyakan ulang kejadian didalam investigasi. Pikiran saya sebagai penulis, munkin kejadian pada ORDE baru ya begini, tidak ada kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan main culik seperti yang dilakukan birokrat kampus. Seakan-akan ORDE BARU bangkit lagi di KAMPUS di era reformasi, kebeasan pendapat dan keterbukaan ini.
Kalaupun betul ORDE BARU tumbuh dan bangkit lagi di KAMPUS dengan indikasi untuk
melumpuhkan Organisasi Ekstra, lalu muncullah tanda-tanda kematian OMEK memang tampak nyata. Tidak hanya ruang yang sangat terlarang versi kampus, tetapi berbagai dinamika organisasi juga terus dihambat dengan padatnya kuliah tambahan, KULIAH MALAM DAN KULIAH HARI SABTU. Kampus berpikir bahwa seluruh kegiatan diluar kampus harus terus dibatasi, bahkan kalau bisa mengganggu dari berbagai kegiatan kajian dan diskusi rutinan yang dilakukan Organisasi Ekstra
kampus. Semua fasilitas kampus juga "haram" untuk dipinjam. GEDUNG dan FASILITAS itu hanya simbolis manis kemegahan kampus.
Mimpi
kejayaan Nusantara tersabotase di wilayah kampus, seakan-akan kampus sudah
melemahkan mimpi mahasiswa tentang kejayaan Nusantara, tentang peradaban
Nusantara, tentang kemerdekaan Nusantara sepenuhnya. Apa yang dibanggakan
mahasiswa jika tak bisa berbuat apa untuk Negerinya sendiri. Kampus hanya
mengarahkan mahasiswanya kepada PEKERJA KERAS bukan PEKERJA CERDAS.
restu perjuangan tak selalu kita dapatkan , bahkan dari "Ibu kandung" kita sendiri. Orde sekarang tak ubahnya Topeng baru Orde baru . Pengkandangan kembali Organisasi mahasiswa , pelarangan kebebasan berpendapat . salam pergerakan !!! PMII Walisongo Semarang
BalasHapusane ijin share link aj... terinspirasi oleh catatan sahabat jaka ini :d
BalasHapusEksistensi PMII di kampus UMM makasih atas kesempatannya berkomentar :d
Sebagian besar kampus memang melarang aktifitas orraganisasi2 Ektra, karena mnurut sy mungkin supaya tidak ada pengkotakkan mahasiswa berdasarkan sentimen kelompok organisasi maupun ideologi tertentu,jika sudah membawa simbol organisasi tertentu dikhawatirkan dapat menimbulkan persaingan antarkelompok organisasi dan menghilangkan kepentingan bersama. Berbeda dengan organisasi intra kampus, selain masih berada di bawah tanggung jawab pihak Rektorat juga tidak terlalu menonjolkan semangat ideologi tertentu..
BalasHapusjadi .....yg mnjadi pertanyaan sbg bahan muhasabah untuk diri kita adalah...
1. Sejauh mana sikap independensi kita sbg mahasiswa..???
2. Apakah dg keberadaan PMII ini bz membentuk kader2 yang shalih..??? dan bz menshalihkan orang lain..??
atau mungkin, Omek tidak diijinkan masuk kampus karena sebagian besar kader2 jarang masuk kuliah..# Sbg bahan muhasabah ajja...:-)