Kader PMII UMM Menggebrak Indonesia
in KOMISARIAT, Opini, RAYON FISIP, REPORTASE 2
Ketika masih bayi nama Azhari yang
satu ini tidak sampai terdengar di telinga Presiden. Anak manusia dari Aceh ini
hanya bisa merepotkan saat Presiden bersama warga Negara Indonesia yang lain
sibuk memperingati hari kemerdekaan tanggal 17 agustus ketika ia lahir. Ia hanya
bisa menangis tebahak – bahak saat keluar dari mulut rahim bundanya melihat
silaunya dunia. Tak tahu apa yang bisa
ia perbuat untuk bangsa. Jangankan berbuat untuk bangsa, untuk hidupnya saja ia
hanya bisa pasrah saat disuapi, diganti popoknya, dimandikan dan segala
aktivitas sehari – harinya harus dibantu orang lain. Sama sekali tak berdaya!
Waktu terus melaju ke depan, tak bisa
diberhentikan apalagi berjalan mundur layaknya angkot yang memenuhi terminal
Landungsari Malang. tahun berganti tahun, dan ia pun terus tumbuh dewasa
menjumpai berbagai perihal dalam setiap perjalanan hidupnya. Terjalnya jalan macadam
sampai aspal tol pun pernah ia lewati. Sampai ketika ia terdampar di kota
Malang menempuh pendidikan di Universitas Muhammadiyah Malang dekat terminal
landungsari tadi. Tak tahu apa tujuannya ia memilih kuliah di UMM. Begitupun ketika
ia menjumpai organisasi sebesar PMII yang herannya masih hidup di kampus UMM. Ia
pun memutuskan berproses di dalamnya.
Di PMII ia belajar apa yang tidak
didapatkan di ruang kelas yang dipenuhi bangku – bangku berjejer rapi, white
board, meja dosen dan LCD. Belajar berorganisasi! Mengutip tulisan sahabat
Falikhin – Organisasi Sebagai Media Menempa Diri
“tujuan suatu
organisasi saya rasa sudah jelas pasti tidak lepas dari proses belajar sesuatu
yang tidak dapat kita peroleh dengan detail dalam bangku kuliah. Banyak
pengetahuan yang dapat kita peroleh diluar pengetahuan yang bersifat
fakultatif, kita bisa belajar tentang apa saja yang ingin kita pelajari dari
teman-teman yang memiliki pengetahuan lebih jauh dari kita dan pengetahuan itu
akan kita peroleh dengan cuma-cuma jika kita aktif berorganisasi. Akan tetapi
disisi lain kita juga harus mau berbagi pengetahuan kita kepada teman-teman
yang lain sebagai wujud “terima kasih” kita kepada organisasi karena kita telah
menerima apa yang kita inginkan dan kita harus kasih atau lebih tepatnya
berbagi apa yang kita punya, maka akan terjadi dinamisasi dalam perjalanan
suatu organisasi tersebut.”
Tak hanya di PMII saja ia berproses,
juga di organisasi/ komunitas lain hingga membentuk karakter pemuda yang
tangguh dan tidak cengeng. Pemuda seperti inilah yang diharapkan bangsa
Indonesia. Pemuda yang mempunyai kepedulian terhadap tanah airnya ditengah
maraknya pemuda yang lebih memilih bergaya hidup hedonis, apatis, skeptis. Mengutip
pernyataan Soekarno “Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya kepada tanah
air, maka aku akan mengguncang dunia”.
Sampai pada akhirnya ia mempunyai ide
untuk berkarya bagi daerahnya (Aceh) dan bangsa Indonesia. Tak ingin mati sia –
sia dan menjadi pecundang seumur hidup. Ia sadar bukan seorang konglomerat yang
mampu meninggalkan harta melimpah bagi anak cucunya kelak. Memilih berkarya
karena kata Iwan Fals “Kita (manusia) hidup di dunia hanya sementara, tapi
karya akan abadi”.
Karya pertamanya pun hadir, tak
tanggung – tanggung langsung menggebrak Indonesia!
Sebuah Film dokumenter “Garamku Tak
Asin Lagi” yang digarap bersama rekannya Jamaluddin Phonna yang juga pemuda
Aceh. Akhirnya terpilih sebagai juara Film Rekomendasi Juri di malam final
kompetisi Eagle Awards, Jumat (28/10).
Sebelumnya film yang menceritakan
tentang perjuangan sekelompok perempuan yang mempertahankan produksi garam
tradisional di tengah gencarnya impor garam dari luar negeri ini termasuk salah
satu dari lima film dokumenter pilihan panitia Eagle Awards Metro Tv.
Luar biasa bukan? Azhari yang ketika
masih bayi hanya bisa menangis sekarang telah membuktikan kepada Indonesia
bahwa ia bukan pecundang. Bahwa ia masih memiliki rasa cinta tanah air dan setidaknya
mampu sedikit berbuat bagi bangsa dan Negara. Kita tunggu saja gebrakan
selanjutnya dari sahabat Azhari. Dan buat kalian semua pemuda – pemuda Indonesia,
Azhari sudah membuktikan, jangan jadi tong kosong yang nyaring bunyinya,
buktikan bahwa kalian lebih bisa! Apakah kalian tidak malu kepada tangisan Azhari ketika masih bayi? (lw).
aku padamu
BalasHapusMantab,...
BalasHapus