PMII UMM Aksi Dialog dengan Gambar

in 0

(Manifesto aksi dialog dengan gambar)


Kalau dialog adalah pertemuan manusia dengan menggunakan kata untuk menamai dunia, maka di dalam dialog tidak dapat berlangsung ketika manusia yang marginal terampas hak bicaranya. Problemnya adalah, masih banyak masyarakat yang masih tenggelam dalam kebudayaan bisu. Maka, tugas kita adalah adalah membuat mereka yang bisu bisa bicara atau berbuat.

Dialog tidak akan terwujud kecuali melibatkan pemikiran kritis. Pemikiran yang melihat suatu hubungan tak terpisaahkan antara dunianya tanpa melakukan dikotomi antar keduanya, pemikiran yang melihat realitas sebagai proses dan perubahan.

Karena itu, kerja dialog adalah membangun kesadaran masyarakat, yang masih tenggelam dalam budaya bisu. Seperti yang kita ketahui, selain itu tentu saja yang harus kita bongkar kembali adalah bekal apresiasi di masing masing kepala kita. Apabila sensibilitas sosial kita tidak diasah dengan prinsip-prinsip pokok apresiasi itu, dengan kemurnian, kejernihan, serta kebijaksanaan dalam membaca realitas yang ada, maka usaha menghadirkan sebuah dunia yang berbeda telah gagal.

Hari ini, ditengah lesunya budaya gerakan kritis yang mengedepankan partisipasi masayarakat,saatnya gerakan mahasiswa kembali hadir dalam membangun budaya dialog agar apa yang dimaksud untuk membangun kesadaran masyarakat dapat terwujud.

Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Komisariat Universitas Muhammadiyah Malang (PMII UMM) membuka dialog terbuka terhadap kebijakan pemerintah menaikkan Tarif dasar Listrik (TDL). Bukan sebuah penyikapan apakah menyetujui atau menolaknya, namun aksi kali ini memberikan ruang bertutur bagi kalangan masyrakat grass root terhadap respon kenaikan TDL.

Kenapa dengan Gambar?
Pertama, budaya membaca masyarakat indonesia yang masih kurang, menjadikan masyarakatnya minim analisis, minim data. Dari sini terlihat bahwa gerakan penyadaran melalui tulisan tidak sampai pada masyarakat bawah. Dengan visualisai gambar, proses penyadaran akan cepat ditangkap bagi yang melihatnya.

Kedua, keterlibatan masyarakt luas dalam menggambar kali ini merupakan upaya mendengar kaum-kaum subaltern yang selama ini terabaikan suaranya. Memberikan ruang untuk bertutur akan apa yang dirasakan terhadap kebijakan pemerintah, khususnya kenaikan TDL.

Ketiga, menggembalikan gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral. Melihat,mendengar dan rasakan yang meliputi bagaimana kita menyimak emosi,menerima sacara terbuka perbedaan dan melindungi setiap kontribusi rakyat serta membangun rasa saling percaya pada anggota kelompok masyarakat.

Hanya saja, untuk sampai kepada mencintai, di dalam dialog, antara gerakan mahasiswa dan komunitas yang didampingi, relasinya, sampai kepada rasa saling percaya (mutual trust). Rasa saling percaya dapat muncul apabila ada kerendahaan hati. Kerendahan hati dibutuhkan. Karena itu, perlu semacam “proses bunuh diri kelas”.untuk bebas dari asumsi-asumsi, prasangka-prasangka.

Kecenderungan inilah yang harus perubahan sosial. harus mengembangkan kerangka dialog di dalam melakukan perubahan tersebut. Sebagai dialog, maka harus menjaga relasi dengan kelompok/komunitas yang akan diberdayakan.

Relasi antara dengan komunitas masyarakat adalah setara (equal). harus menempatkan diri sebagai subyek, dan menempatkan komunitas msyarakat sebagai subyek juga. Relasi ini yang termasuk dalam teori dialog. Sebaliknya, apabila komunitas mereka merasa diri sebagai subyek dan menempatkan masyarakat sebagai obyek, maka relasinya tidak setara dan hal ini termasuk dalam kerangka anti-dialog.

tidak boleh bersikap dominan dan juga berusaha agar tidak memberi ruang bagi munculnya yang dominan. Di dalam kesetaraan, denhgan kata lain, tidak ada ruang bagi arogansi, karena dominasi berakar dari arogansi.

Karena kesetaraannya tersebut, maka dialog lahir dari rasa cinta. Cintalah yang memungkinkan dialog itu lahir. Karena itu, dialog adalah cinta, cinta ya dialog. Cinta yang memungkinkan satu dua orang bertemu dengan menggunakan kata (komunikasi) demi menamai dunia. (PMII UMM)

Leave a Reply