Mengenal Filsafat Eksistensialisme

in 3

Disusun Oleh: Cheng Prudjung

Aliran filsafat Eksistensialisme adalah filsafat yang pemahamannya berpusat pada manusia/individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas, tanpa mendalami nilai kebenaran sesuatu. Sebenarnya bukannya tidak mendalami atau mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran itu relatif, maka masing-masing individu bebas menentukan sesuatu mereka anggap benar.

Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah (selalu) persoalan kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimana manusia yang bebas? dan sesuai dengan ide utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.


Filsafat eksistensialisme hadir lewat Jean Paul Sartre (versi pembelajaran filsafat di sekolahan), Sartre terkenal dengan diktumnya "human is condemned to be free", manusia dikutuk untuk bebas. Maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau "dalam istilah orde baru", apakah eksistensialisme mengenal "kebebasan yang bertanggung jawab"? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain. Namun, Bapak filsafat eksistensialisme ini adalah Søren Aabye Kierkegaard, dialah yang pertamakali mencetuskan filsafat eksistensialisme kemudian diturunkan kepada Sartre, walaupun akhirnya Sartre lebih banyak dikenal dalam studi filsafat ejsistensialisme karena karya-karyanya.

Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain daripada yang lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme.


Søren Aabye Kierkegaard

Søren Aabye Kierkegaard lahir di Kopenhagen, Denmark, 5 Mei 1813 dan meninggal di Kopenhagen, Denmark, 11 November 1855 pada umur 42 tahun. Dia adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard terutama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap dialektika Hegel.

Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang.

Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard "sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19".

Pemikiran Kierkegaard

Pemikiran Kierkegaard, sebagai kritik atas Hegel, menekankan pada aspek subjektivisme. Mengingat seluruhnya pada dasarnya adalah manifestasi dari apa yang disebut Hegel sebagai fenomenologi roh maka individu manusia direduksi menjadi kawanan. Hal ini akan melenyapkan individu dari tanggung jawab pribadinya secara etis bahkan juga melenyapkan eksistensi individu di dalam kerumunan kawanan. Penekanan pada eksistensi individu inilah yang menjadikan Kierkegaard dianggap sebagai bapak eksistensialisme yang dipopulerkan oleh Sartre kelak.

Pemikiran lain yang menarik adalah sebuah dialektika eksistensialis yang menggambarkan perkembangan religiusitas manusia dari apa yang disebutnya tahap estetis, tahap etis, hingga tahapan religius. Tahap pertama adalah tahap estetis yaitu ketika manusia bereksistensi berdasarkan prinsip kesenangan indrawi, sebagaimana arti kata estetis yang bermakna mengindra. Tokoh dalam peradaban barat yang menjadi contoh adalah Don Juan yang memburu kesenangan.

Tahapan kedua dicapai dengan satu lompatan menuju tahap dimana manusia bereksistensi dengan pertimbangan moral universal dalam kerangka benar dan salah. Tokoh yang dapat dijadikan contoh adalah Socrates yang mengorbankan dirinya demi prinsip moral universal. Tahap terakhir adalah tahap keimanan puncak yang tidak dapat dinilai dengan penilaian moral universal namun menemui sifat paradoks keimanan.

Tokoh yang dijadikan teladan adalah Ibrahim (atau Abraham) dalam kisah penyembelihan anaknya (Ishak dalam agama Kristen dan Ismail dalam agama Islam) yang tindakannya tersebut, sebagai manifestasi dari keimanannya, tidak dapat dinilai dengan penilaian moral universal. Sebuah tindakan yang mengandung dasar paradoks karena di satu sisi Ibrahim menyerahkan diri sepenuhnya, dan kehilangan segala-galanya, dengan gerakan imannya dan di sisi lain, secara bersamaan, dia mendapatkan segalanya dengan cara yang baru. Sebuah kegilaan ilahi[8], sesuatu yang tidak dikutuk tapi justru dianjurkan oleh Kierkegaard, yang akan tampak absurd apabila dimasukkan ke dalam kategori moral universal.


Sumber bacaan; Wikipedia Indonesia 

3 Responses to “Mengenal Filsafat Eksistensialisme”

  1. bagimana bisa sesuatu itu didapatkan oleh diri sendiri tanpa bergerak dan digerakkan oleh sesuatu yang wujud dalam artian bukan ide semata?
    bagaimana bisa kebenaran itu relatif?
    bukankah kebenaran itu sesuatu yang di "paksa" ke dalam individu-individu?
    saya rasa suharto tidak membunuh saudara kita justru propaganda yang di katakan "kebebasan" itu yang membuat saudara kita tidak bebas...
    kebenaran itu akan selalu kebenaran tidak pernah berubah...yang tidak merusaklah yang benar...

    BalasHapus
  2. Hemmmm....! Kalau membaca artikel filsafat langsung saja bergerak otak ini...! hehee

    BalasHapus