Membongkar Gurita Cikeas yang Menggurita
Oleh: Cheng Prudjung
Kontroversi buku yang ditulis oleh George Junus Aditjondro, menjadi perbincangan baru di tengah-tengah maraknya pemberitaan media tekait kasus Bank Century. Media massa berlomba-lomba mencari tahu bagaimana kisah yang dituliskan sang penulis dalam buku tersebut.
Buku berjudul Membongkar gurita Cikeas yang diterbitkan oleh Galangpress, diluncurkan di Yogyakarta, 23 Desember 2009. Peluncuran yang dilaksanakan di gedung PT Galangpress, Yogyakarta, merupakan soft launching untuk peluncuran buku di Jakarta yang rencananya dilaksanakan pada 30 Desember 2009 di Doekoen Coffe, Jakarta.
Buku yang mengisahkan keterlibatan keluarga SBY dan partai Demokrat dalam kasus bank Century ini langsung membuat Presiden SBY prihatin, beberapa orang kemudian langsung berpendapat bahwa ini adalah usaha mencemarkan nama baik, sebelum mengetahui dengan pasti isi buku yang dituliskan oleh George.
Beberapa media memberitakan bahwa buku dengan cover bergambar gurita ini habis di pasaran setelah selang beberapa hari setelah peluncuran buku di jogja. Di Yogyakarta, tiga toko buku Gramedia tidak lagi menjual buku itu (27/12). Di Jakarta lebih parah lagi, pada tanggal 25 Desember, buku yang baru masuk ke Gramedia pada pagi harinya telah “hilang” pada sore hari. Seorang karyawan menginformasikan bahwa bukunya sudah ditarik karena ada telepon dari pusat. Karyawati TBG Bintaro bernama Indah itu tidak menjelaskan persoalan telpon dari pusat.
Di tengah kebingungan untuk mendapatkan buku tersebut, pernyataan dari Presiden SBY di media, baik secara langsung maupun melalui Juru Bicaranya hingga tanggal 28 Desember, semakin menambah kebingungan, pasalnya buku tersebut telah habis di pasaran sementara SBY belum mengeluarkan instruksi untuk menarik buku tersebut dari pasaran.
Terlepas dari kebutaan saya menyangkut isi dari buku kontrversial terbut, berbagai wacana yang disampaikan media menyangkaut buku Membongkar Gurita Cikeas ini, menjelaskan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat di negeri ini belum sampai pada kesadaran kritik dan jujur. Hal terbut dapat diperhatikan dari kasus hilangnya buku ini di pasaran tanpa diketahui siapa oknum yang harus bertanggung jawab. Akibat dari perilaku “mafia” ini, kebingungan dan simpang siurnya informasi melanda masyarakat, dan setiap orang mulai berbicara atas dasar asumsi tentang buku ini, berbekal dari potongan-potongan kalimat yang disampaikan beberapa media.
Istilah pencemaran nama baik presiden sebagai kepala Negara, sebagai respon dari buku tersebut menjadi sebuah perbincangan seru. Namun, tanpa berusaha melibatkan diri dalam permasalahan ini, sebenarnya persoalan pencemaran nama baik tidak boleh mendikotomisasikan seseorang dengan jabatan yang diembannya. Dikotomisasi kasus pencemaran nama baik ini akan berdampak pada sikap dehumanisasi, karena setiap orang memiliki hak untuk hidup yang sama, sehingga mereka layak mendapatkan penghormatan yang sama, terutama di depan hukum.
Perlu diperhatikan juga bahwa, hilangnya buku karya George Junus Aditjondro ini di pasaran menunjukkan bukti kenaifan intelektual di negeri ini. Hal ini ditunjukkan oleh hadirnya berbagai statemen penolakan karya George karena penulisannya secara teknis tidak memenuhi syarat penulisan baku, terutama tidak menggunakan data sekunder untuk mendukung data-data yang dia gunakan. Persoalannya adalah, usaha untuk komplain terhadap sebuah karya harusnya ditunjukkan dengan sebuah karya yang menyampaikan realitas sebenarnya dari permasalah ini.
Kalaupun Membongkar Gurita Cikeas memiliki berbagai kekurangan dalam menyajikan fakta, itu bukan berarti melakukan penolakan terhadap kenyataan yang mungkin saja benar (saya belum membaca buku tersebut). Kalaupun isi dari buku tersebut adalah fiktif atau tidak benar adanya, maka yang menjadi perdebatan adalah klarifikasi data-data yang disampaikan, bukan lagi pada teknis dan metodologi penulisan.
Semoga setelah ini, manusia Indonesia dapat sampai pada kemuliaan ilmu dengan usaha untuk menghadirkan dan menyampaikan kenyataan sebagaimana mestinya. Karena tidak adalagi visi kehidupan selain merangkai kenyataan demi kenyataan untuk sampai pada sebuah kenyataan baru, bagaimana pun pahitnya kenyataan tersebut.
Buku berjudul Membongkar gurita Cikeas yang diterbitkan oleh Galangpress, diluncurkan di Yogyakarta, 23 Desember 2009. Peluncuran yang dilaksanakan di gedung PT Galangpress, Yogyakarta, merupakan soft launching untuk peluncuran buku di Jakarta yang rencananya dilaksanakan pada 30 Desember 2009 di Doekoen Coffe, Jakarta.
Buku yang mengisahkan keterlibatan keluarga SBY dan partai Demokrat dalam kasus bank Century ini langsung membuat Presiden SBY prihatin, beberapa orang kemudian langsung berpendapat bahwa ini adalah usaha mencemarkan nama baik, sebelum mengetahui dengan pasti isi buku yang dituliskan oleh George.
Beberapa media memberitakan bahwa buku dengan cover bergambar gurita ini habis di pasaran setelah selang beberapa hari setelah peluncuran buku di jogja. Di Yogyakarta, tiga toko buku Gramedia tidak lagi menjual buku itu (27/12). Di Jakarta lebih parah lagi, pada tanggal 25 Desember, buku yang baru masuk ke Gramedia pada pagi harinya telah “hilang” pada sore hari. Seorang karyawan menginformasikan bahwa bukunya sudah ditarik karena ada telepon dari pusat. Karyawati TBG Bintaro bernama Indah itu tidak menjelaskan persoalan telpon dari pusat.
Di tengah kebingungan untuk mendapatkan buku tersebut, pernyataan dari Presiden SBY di media, baik secara langsung maupun melalui Juru Bicaranya hingga tanggal 28 Desember, semakin menambah kebingungan, pasalnya buku tersebut telah habis di pasaran sementara SBY belum mengeluarkan instruksi untuk menarik buku tersebut dari pasaran.
Terlepas dari kebutaan saya menyangkut isi dari buku kontrversial terbut, berbagai wacana yang disampaikan media menyangkaut buku Membongkar Gurita Cikeas ini, menjelaskan bahwa kebebasan menyampaikan pendapat di negeri ini belum sampai pada kesadaran kritik dan jujur. Hal terbut dapat diperhatikan dari kasus hilangnya buku ini di pasaran tanpa diketahui siapa oknum yang harus bertanggung jawab. Akibat dari perilaku “mafia” ini, kebingungan dan simpang siurnya informasi melanda masyarakat, dan setiap orang mulai berbicara atas dasar asumsi tentang buku ini, berbekal dari potongan-potongan kalimat yang disampaikan beberapa media.
Istilah pencemaran nama baik presiden sebagai kepala Negara, sebagai respon dari buku tersebut menjadi sebuah perbincangan seru. Namun, tanpa berusaha melibatkan diri dalam permasalahan ini, sebenarnya persoalan pencemaran nama baik tidak boleh mendikotomisasikan seseorang dengan jabatan yang diembannya. Dikotomisasi kasus pencemaran nama baik ini akan berdampak pada sikap dehumanisasi, karena setiap orang memiliki hak untuk hidup yang sama, sehingga mereka layak mendapatkan penghormatan yang sama, terutama di depan hukum.
Perlu diperhatikan juga bahwa, hilangnya buku karya George Junus Aditjondro ini di pasaran menunjukkan bukti kenaifan intelektual di negeri ini. Hal ini ditunjukkan oleh hadirnya berbagai statemen penolakan karya George karena penulisannya secara teknis tidak memenuhi syarat penulisan baku, terutama tidak menggunakan data sekunder untuk mendukung data-data yang dia gunakan. Persoalannya adalah, usaha untuk komplain terhadap sebuah karya harusnya ditunjukkan dengan sebuah karya yang menyampaikan realitas sebenarnya dari permasalah ini.
Kalaupun Membongkar Gurita Cikeas memiliki berbagai kekurangan dalam menyajikan fakta, itu bukan berarti melakukan penolakan terhadap kenyataan yang mungkin saja benar (saya belum membaca buku tersebut). Kalaupun isi dari buku tersebut adalah fiktif atau tidak benar adanya, maka yang menjadi perdebatan adalah klarifikasi data-data yang disampaikan, bukan lagi pada teknis dan metodologi penulisan.
Semoga setelah ini, manusia Indonesia dapat sampai pada kemuliaan ilmu dengan usaha untuk menghadirkan dan menyampaikan kenyataan sebagaimana mestinya. Karena tidak adalagi visi kehidupan selain merangkai kenyataan demi kenyataan untuk sampai pada sebuah kenyataan baru, bagaimana pun pahitnya kenyataan tersebut.