PENGANTAR MENUJU BUMI IMAJINASI (SEBUAH ESSAI)

in 1

$3Cspan style="font-size: small;">
oleh: Cheng Prudjung
Pada nuansa-nuansa kebingungan, kebimbangan dan keterpurukan perasaan, ada petunjuk yang menghampiri rahim ide kita. Imajinasi yang ada dalam kepala kita bergerak tanpa ampun melintasi ratusan teori ilmu pengetahuan yang telah melewati jarring-jaring rasionalitas dan verifikasi. Terlepas dari ungkapan Einstein, bahwa bukan rahasia bila imajinasi lebih berharga dari sekadar ilmu pasti, adalah suatu pesan bahwa persoalan yang menerpa tidak harus diselesaikann dengan kepal, hati pun termasuk.
Karena rasionalisasi terikat pada hokum-hukum bernilai, apakah benar ataukah salah. Sementara hati terkait pada kekuatan dan ketipisan emosi. Ada pisau-pisau analisa sekaligus penajam makna dalam diri kita, entalah dimana tempatnya, yang jelas ada sesuatu yang luar biasa tersembunyi dalam pada fenomena ataupun nomena dalam diri kita.
Menurutku, dia dijaga oleh sikap defensive dalam diri kita yang juga tidak disadari pada titik mana dependensi itu memmbeku.
Pandanglah sungai, perhatikanlah langit, dan teguklah kopimu perlahan, titipkan sebuah pesan atau kesan dalam kepalamu setiap kali memandang sungai, memperhatikan langit dan setiap tegukan kopi. Lalu permasalahannya akan jelas, bahwa kita sedang terlibat dalam suatu sistematika peristiwa dan tersentuh oleh efek dari pekerjaan zat-zat biologis dalam kepala. Hahahaha
Pikirkanlah karpet merah, dalami sesuatu di balik putihnya tembok, ikuti alur cat dan semen, dan terpenting sadarilah bahwa suatu mekanisme dalam diri kita sedang melakukan analisa dan tentunya membaca tulissan. Hadirkan sebuah imaji bahwa kita adalah salah satu partikel yang terlibat dalam proses “bertembok”. Jawantahkan kesadaran kita pada tuts-tuts keybor yang menunggu tindihan jemari. Masusi sistem digital, ketika jemari menekan huruf “A” dan sekaligus tercetak dalam mata kita simbol “A” pada ruang lainnya.
Marilah berimajinasi dengan meninggalkan sebentuk nilai. Tidak ada yang tidak mampu kita salami, dan kkemudian lahirlah prasangka atau dorongan enggan dalam diri dengan pledoi-pledoi tercerdas hasil produksi kepala yang telah dibekukan oleh patennya teori. Maka mari menghibur diri dengan suatu pola paling rumit untuk dimasukkan dalam kepala dan dibentuk oleh perilaku.
Aku meliht gendang, aku melihat huruf-huruf dari keyboard, aku melihat monitor, aku melihat karpet merah, aku melihat gunung, aku melihat langit, aku melihat kolam renang, aku melihat ruangan kuliah, aku melihat ayam bakar, aku melihat wanitaa cantik denggan baju warna ungu bermotif kotak, aku melihat seorang pedagang sedang duduk di belakang dagangannya sambil menatap orang—orang berlalu lalang di hadapannya, aku melihat apa yang tidak ada di hadapan mataku.
Haibat bukyan?
Dan lihatlah masalah diluar jalurnya, di luar rambu-rambunya, di luar konteknya, di luar hukumnya. Dan semuanya akan berjalan santai, hingga ia tercampuri oleh zat-zat pemikat dalam sistem emosi yang datang begitu saja. Sehingga semuanya menjadi warna yang bias. Sehingga imaji kemudian berakhir pada batas-b`tas ketidak jelasan antara mimpi dan harapan.
Itu saja!

One Response to “PENGANTAR MENUJU BUMI IMAJINASI (SEBUAH ESSAI)”

  1. Semoga bukan hanya imajinasi kosong belaka, sehingga hanya terkungkung pada kosongnya harapan....
    liarkanlah imajinasimu...... hehehehehehe.....

    BalasHapus