Secuil Pemikiran Pramoedya Ananta Toer Tentang Nasionalisme
Oleh: Lugas Wicaksono
Siapa yang tak kenal sosok Pramoedya Ananta Toer? Sastrawan yang terkenal sebagai perokok berat dan karya - karya sastra realisme sosialis yang mampu menggebrak Indonesia semasa hidupnya. Lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 dan wafat di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun. Salah satu tokoh Lekra, organisai sayap kiri bagian dari PKI - tapi ia bukan PKI. gerakannya banyak dilakukan lewat tulisan yang menceritakan kondisi realitas sosial yang terjadi di Indonesia. karena tulisannya yang dianggap berbahaya itulah ia sering berurusan dengan pemerintah yang berkuasa. Beberapa tulisannya menggambarkan pemikirannya tentang nasionalisme yang dikemas apik dalam karya sastranya.
Ia mengkritik
fenomena kekuasaan yang terlalu Jawa Sentris. Fenomena ini ini ditolak oleh
Pram dikarenakan sudah sejak zaman penjajahan pusat pemerintahan selalu berada
di Jawa yang mengakibatkan banyak ras-suku yang bermigrasi ke Jawa. Mereka
menganggap bahwa Jawa lebih baik dari pulau lain dan lebih, mudah, enak,
nyaman, tenteram, bahagia bekerja ataupun sekolah di Jawa. Singkatnya, mereka
lebih suka hidup di Jawa daripada hidup di daerahnya sendiri yang secara pembangunan
masih tertinggal dari Jawa.
Pram menilai apabila konsep pemusatan kekuasaan
nasional di Jawa cenderung menjadikan kita sebagai bangsa yang hanya bergerak
ke dalam, tidak berani melakukan ekspansi, dan menonjolkan kekutan di luar. Bangsa
yang hany` cari aman saja, Akibatnya banyak terjadi konflik internal tidak
berkesudahan dalam perjalanan bangsa sejak merdeka sampai reformasi. Sebenarnya
menurut pengakuan Pram, ketika zaman Soekarno muncul wacana untuk memindah
ibukota Negara ke Palangkaraya, ia setuju dengan wacana tersebut. Namun, tidak
terlaksana karena pemerintahan beralih ke rezim Soeharto. Sebenarnya sewaktu
zaman Soeharto Pram berharap bahwa pusat pemerintahan akan berpindah dari Jawa.
Namun, setelah lama menanti sampai rezim Soeharto beralih ke era reformasi
tidak kunjung berpindah, dan pusat pemerintahan sampai saat ini tetap berada di
Jakarta yang masuk wilayah Jawa.
Secara garis besar
konsep nasinalisme Pram yang dikaitkan dengan bentuk Negara, Pram lebih suka
bentuk kesatuan. Ia tidak sepakat dengan bentuk federalism, karena ia
menganggap bahwa dengan federalism intervensi asing akan mudah masuk ke
Indonesia. Pram lebih menyukai otonomi sebagai bentuk kompromi pertentangan
konsep Negara kesatuan yang terlalu absolute dengan konsep Negara federalism
yang terlalu bebas. Apabila memakai konsep Negara federalisme Indonesia juga
belum tentu mampu menerapkannya. Karena wilayah kelautan juga masih sering
kecolongan.
Pram berasumsi bahwa
persoalan mendasar yang perlu dibenahi dalam persoaln berbangsa dan bernegara
adalah wawasan dari sejarah yang berangkat dari rasa kebersamaan sehingga kita
menjadi satu bangsa Indonesia. Wawasan tersebut tidak boleh dilupakan dan harus
dikuatkan dan disepakati. Tugas kita adalah mengajarkan wawasan kebersamaan
tersebut kepada anak-anak.
Kata kunci konsep dasar
nasionalisme dalam sejrah pergerakan masyarakat Indonesia sebenarnya adalah
persatuan. Pram pernah menulis karyanya
yang berjudul Sekali Peristiwa di Banten Selatan. Yang
dilatarbelakangi kunjungan Pram ke Banten untuk menggerakkan masyarakat dalam
persatuan untuk melawan pemberontakan DI/TII. Soekarno pernah berkata bahwa
Pancasila itu bisa diperas menjadi trisila kemudian bisa diperas lagi menjadi
satu, yaitu gotong royong. Pram menceritakan dalam karyanya tersebut tentang
nasib masyarakat yang selalu ditindas terus, mulai dari penjajahan Belanda,
penjajahan Jepang, Agresi Militer Beanda I dan II, kemudian ditambah lagi
pemberontakan DI/TII. Penindasan yang sempurna untuk masyarakat Indonesia.
Makin menderita saja masyarakat Indonesia, kemudian sudah menderita masih
ditambah lagi tercerai berainya tatanan masyarakat. Jika masyarakat tidak mau
bersatu dan gotong royong tunggu saja datangnya pahlawan bertopeng yang akan
melepaskan masyarakat dari penderitaan akibat penindasan. Penderitaan ini
sangat kronis karena berlangsung sangat lama dan terus menerus sampai
keturunan-keturunan berikutnya.
“Ah
pak, itu-itu juga yang kau katakana. Kau terlalu sabar.
Tapi
kapan keadaan akan jadi lebih baik?”
Kapan?
Itu tergantung pada kapan kita sendiri mulai mengusahakan.”
“Ya
kapan? Dari dahulu kita dauber-uber lurah, tuan besar, rodi, wajib desa. Kita
tak sempat cari penghidupan layak. Zaman Jepang? Romusha. Zaman Nica? Kerja
Rodi, ditembak. Sekarang? Diuber-uber DI.”….
“Nasib
kita akan lebih buruk kalau mereka membalas.”
“Tidak
kalau kita membalas.”
“Biar
bersatu, mereka punya senjata.”
“Tidak,
kita bersatu dan juga melawan, bahkan menyerang. Kalau ada persatuan, semua
bisa kita kerjakan, jangankan rumah, gunung dan laut kita pndahkan.”….
“Abdi
dengar. Pak Lurah. Tapi abdi lebih percaya pada kebenaran.”
“Kau
belum banyak makan garam, Djali. Dengar. Aku sudah pernah lihat Palembang.
Surabaya, Jakarta, Bandung. Di mana-mana sama saja. Di mana-mana aku selalu
dengar. Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar Benar sekali. Tapi
kapan? Kebenaran tidak datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menadi
benar”[1]
Pram juga melihat jika
perkembangan nasionalisme dari tiap zaman perlu dilakukan perubahan. Zaman
kolonialime tentu berbeda situasi dan kondisinya dengan orde lama maupun orde
baru. Nasionalisme 45 adalah semangat. Musuh kita pada tahun 45 adalah penjajah
yang bisa dilawan dengan perang yang menggunakan kekuatan fisik. Seperti halnya
Perang dunia I, Perang Dunia II, atau Perang Salib. Namun, saat ini perang yang
kita alami berganti menjadi perang ekonomi, pertarungan menanamkam modal di
Negara lain.
[1]
Pramoedya Ananta Toer, Sekali Peristiwa Di Banten Selatan, (Jakarta: Lentera
Dipantara, 2004), hlm. 28, 76-77.
dan indonesia dewasa ini hanya menjadi babi ketika bersaing dalam pasar bebas.
BalasHapus