KETIKA MAHASISWA MENJADI “ANJING HERDER” BIROKRAT
Terkisahlah pada suatu masa di
sebuah kampus antah berantah, tepatnya kisah tentang sebuah fakultas yang
bernaung di dalamnya, yang seringkali disebut fakultas “rimba aksara.” Mengapa
disebut demikian? Konon sebutan itu lahir dikarenakan keberanekaragaman yang
tumbuh subur di fakultas tersebut. Layaknya sebuah hutan rimba yang ditumbuhi
bermacam-macam tanaman, di fakultas ini berkembanglah secara damai
bermacam-macam hasil pemikiran manusia yang tertuang dalam diktat perkuliahan
dan gaya hidup penghuni di dalamnya. Kata “rimba” mewakili sifat keanekaragaman
dan “aksara” merepresentasikan “hasil pemikiran manusia.”
Di fakultas ini, kita akan menjumpai
orang-orang yang mempertanyakan jati dirinya, mempertanyakan apapun mulai dari
batu yang berserakan di jalanan sampai memperdebatkan keberadaan Tuhan. Roh-roh
para pemikir dunia bergentayangan di fakultas ini. Ide-ide kontroversial milik
Karl Marx, Derrida, Choamsky, Gramsci, Foucault, Freud dan Nietzsche seolah
menjelma dalam diri para senior intelek yang turut “mendakwahkan” ajaran para
tokoh tersebut kepada para juniornya yang kerap dipanggil “mahasiswa.”
Gaya hidup penghuni yang mendiami
fakultas ini pun bercorak warnanya. Dari pemilik rambut rebonding sampai kribo,
dari pemakai kerudung mencekik leher sampai yang bercadar, dari perempuan
bertelanjang paha sampai berjubah lebar, dari orang yang rajin sholat lima
waktu sampai orang yang menertawakan orang sholat, dari pemakai celana pensil
ketat sampai celana longgar cingkrang, dari orang yang gemar menyampaikan ilmu
Tuhan sampai orang yang meragukan eksistensi Tuhan. Semuanya ada di fakultas
ini. Bagaikan adonan kue yang sudah terlumat semua bahan dasarnya, fakultas ini
semakin lama semakin mengental sifat multikuturalnya. Karena telah menjadi ciri
khas, maka ciri ini lambat laun menjelma menjadi sebuah kebanggaan tersendiri
yang seolah harus dipertahankan. Mempertahankannya adalah dengan membiarkan
semuanya tumbuh subur, satu sama lain harus saling menghormati pendapat, pola
pikir dan gaya hidup masing-masing dan tidak boleh memaksakan pendapat.
Namun entah mengapa, seolah ada yang
janggal dari fakultas ini yaitu beberapa tingkah para pemangku kekuasaan. Yang
menimbulkan tanda tanya besar adalah jikalah semua pemikiran itu harus
dibiarkan tumbuh subur, kenapa lambat laun muncul sentimentil beberapa orang
dari pemangku kekuasaan tersebut terhadap sebuah gaya hidup yang konon pernah
berkembang di fakultas itu, yaitu gaya hidup Islami. Tak jelas motif di balik
sikap sentimentil yang berbuah malapetaka seperti halnya bom waktu itu. Yang
jelas telah terjadi penggusuran apapun yang berbau Islam seperti buletin Islam,
mading Islam, kajian-kajian keislaman, sampai organisasi Islam. Pernah
terlontar sekali dari salah satu pemegang kekuasaan tertinggi di fakultas itu
bahwa dia tidak ingin mahasiswanya tercemar oleh aktivitas terorisme. Namun,
dia tak memberi analisis pasti, apa korelasinya organisasi keislaman dengan
terorisme?
Kejanggalan kedua datangnya dari
para mahasiswa yang katanya disebut aktivis – mengingat mereka duduk di jajaran
kursi Badan Eksekutif Mahasiswa dan Himpunan Mahasiswa Jurusan. Layaknya virus
yang menular, para aktivis ini turut menebar atmosfer sentimentil terhadap para
pembawa misi Islam tadi. Hanya saja, dalih mereka agak berbeda, yakni Peraturan
DIKTI (Pendidikan Tinggi) yang melarang OMEK (Organisasi Mahasiswa Ekstra
Kampus) masuk kampus. Mereka menganggap aktivitas keislaman dan ide-ide Islam
yang masih tercium di fakultas tersebut berasal dari Organisasi Mahasiswa
Ekstra Kampus yang akrab disebut OMEK. Menurut penafsiran mereka terhadap
peraturan DIKTI terkait OMEK adalah “haram” bagi OMEK menginjak halaman kampus
termasuk pekarangan fakultas “rimba aksara.” Mungkin mereka berpikir, bukankah
organisasi keislaman sudah dihapuskan, kenapa masih saja banyak selebaran
tentang Islam bertebaran di kampus. Pasti itu adalah ulah OMEK, mungkin begitu
pikir mereka sehingga mereka merasa perlu untuk ambil tindakan mengusir OMEK
dari ranah fakultas mereka demi menaati peraturan DIKTI yang mereka tafsirkan
sendiri.
Alasan kedua atas keengganan mereka
menerima OMEK adalah menjaga kenetralan kampus “rimba aksara” yang sudah
terpelihara dari tahun ke tahun. Mereka rupanya sakit hati pada pemerintahan
kemahasiswaan di fakultas lain yang syarat akan kepentingan perebutan kekuasaan
yang dilakukan oleh golongan OMEK tertentu. Tapi, benarkah demikian alasan
utamanya?
Nampaknya, dari alasan-alasan itulah
yang kemudian mengundang beberapa kejanggalan. Jika memang mereka berdalih
peraturan DIKTI, bukankah yang dilarang adalah kegiatan OMEK secara kelembagaan
atau membuat kesekretariatan di dalam kampus. Sedangkan dalam peraturan
tersebut tidak ada pelarangan terhadap aktivitas individu anggota OMEK untuk
menyampaikan ide-idenya atau berinteraksi dengan individu lain di dalam kampus.
Kejanggalan kedua, jika mereka tak suka OMEK, kenapa di dalam jajaran
pemerintahan mereka masih bercokol orang-orang dari kalangan OMEK? Di mana
letak netralnya? Apa hanya karena gaungnya tak sekeras di fakultas lainnya?
Jika mereka masih saja sentimen pada OMEK yang berusaha menghembuskan nafasnya
di dalam kampus, kenapa yang disasar hanya orang-orang yang kental sekali
simbol keislamannya, misalnya yang berkerudung lebar dan bercelana cingkrang?
Bukankah OMEK itu bermacam-macam dan banyak jumlahnya?
Pernah pada suatu ketika, saat
kampus mengadakan perhelatan besar – menyambut kedatangan mahasiswa baru (maba)
– para aktivis sentimentil itu beraksi dengan bersiap siaga di semua pintu
keluar-masuk kampus bak harimau siap menerkam mangsanya. Tujuannya adalah
mengahadang orang-orang OMEK yang bermaksud kenal dekat dengan mahasiswa baru.
Agar mahasiswa baru yang polos tidak terwarnai oleh bujuk rayu OMEK, begitu
kata mereka. Mereka tak ingin seorang pun dari pihak OMEK menjebol pertahanan
mereka walaupun sekedar menyebarkan selebaran berisi informasi rumah kos kepada
para maba. Pada saat itu memang banyak aktivis OMEK yang menyebarkan selebaran,
entah isinya apa, yang pasti mereka sudah menaati peraturan yang dikumandangkan
pihak kampus untuk tidak menyebar apapun di dalam area kampus. Namun, sayang
seribu sayang, ada beberapa aktivis perempuan berkerudung lebar dari OMEK
tertentu berhasil terkejar dan tertangkap oleh para “aktivis-berlagak satpam”
tadi meski itu sudah di luar area kampus. Sungguh sangat tidak etis jika
beberapa aktivis laki-laki mengeroyok aktivis perempuan hanya perkara yang
sebenarnya remeh. Di mana letak sopan santun mereka? Apa mereka sudah lupa
adabnya untuk bicara baik-baik? Dan mereka semua adalah mahasiswa, sekali lagi
mahasiswa.
Apa para mahasiswa itu tak sadar
bahwa nyawa organisasi intra kampus pasti akan kental dengan idealisme OMEK.
Lagipula kan yang dilarang eksistensi kelembagaan OMEK di dalam kampus bukan
aktivitas interaksi individu OMEK di dalam kampus. Tak bisa dipungkiri, meski
OMEK tak boleh menembus area kampus, namun idealisme anggotanya masih
memberikan kontribusi positif dalam mewujudkan organisasi pergerakan mahasiswa
sejati. Memang, ada juga OMEK yang menyalahgunakan kekuasaannya di jajaran
ORMAWA kampus. Namun, tidak semua dan tidak bisa digeneralisir. Masih ada OMEK
yang mampu menyalurkan atmosfer idealisme positif bagi mahasiswa kampus karena
ciri OMEK biasanya adalah membawa idealisme peregerakan mahasiswa yang harus
berkontribusi ke arah yang lebih baik. Jikalau boleh bertanya dengan jujur (dan
silakan jawab dengan jujur pula) organisasi intra kampus – yang katanya harus
netral dari OMEK itu – punya idealisme apa untuk menggerakkan anggotanya?
Paling-paling yang ada hanyalah struktur organisasi yang tercantum dalam Surat
Keterangan dari Dekan dan program kerja praktis yang jauh dari tujuan
membangkitkan semangat pergerakan mahasiswa seperti merayakan ulang tahun
jurusan, lomba-lomba dan cangkruan.
Harusnya, jika mereka memang sakit
hati dengan OMEK yang suka memperebutkan kekuasaan, jangan lantas memukul rata
semua OMEK. Mereka harus pandai memilah. Katanya ingin netral, tapi kenapa
justru bertindak brutal dengan “menikam” OMEK. Bersikap netral bukan kemudian
membredel tanpa ada komunikasi dua arah, justru mungkin akan terkesan lebih
bijak jika mereka menjadi penengah pihak-pihak yang berbeda dengan duduk
bersama dalam satu meja dan melakukan diskusi sehat yang bisa mengantarkan pada
eratnya ikatan persaudaraan bukan main tikam sembarang orang. Bukankah ini
lebih bagus? lebih bersahabat?
Tapi, sekali lagi benarkah mereka
sentimen terhadap OMEK yang menyalahgunakan wewenang ataukah pada OMEK yang
giat menyerukan nafas Islam?
Jika dilihat lagi, aksi penggusuran
organisasi keislaman oleh pemangku kekuasaan di fakultas “rimba aksara” dan
para aktivis organisasi kemahasiswaannya sepertinya setali tiga uang. Mereka
sama-sama sentimen terhadap simbol-simbol Islam meski alasan yang ditampakkan
berbeda. Nah, kondisi ini semakin parah saat pemangku kekuasaan tersebut seolah
mendapatkan “ajudan” sukarelawan dengan mengajak serta para aktivis tersebut
untuk mendukung misinya dalam memberantas simbol Islam dan kegiatan keislaman
di area kekuasaannya. Pada tahun-tahun berikutnya, para pemangku kekuasaan tak
perlu susah-susah turun ke lapangan mengawasi area kekuasaannya, cukup dengan
mengutus para aktivis yang sama sentimentilnya dengan mereka itu untuk kembali
memasang kuda-kuda agar orang-orang yang kental sekali aktivitas keislamannya
tak lagi berkeliaran bebas di pekarangannya. Apalagi jika mereka ingin
berkenalan dengan mahasiswa baru. Orang-orang sentimen itu tak sudi mahasiswa
barunya berteman baik dengan para aktivis Islami. Mereka tak sudi maba menjadi
tertarik membaca buletin Islam, mengkaji Islam dan tergabung dalam organisasi
keislaman. Apakah ini bisa disebut makar? Ya, bisa jadi demikian.
Ketika telah terjalin simbiosis
mutualisme antara birokrat dan aktivis ormawa ini maka sudah bisa dipastikan
ide Islam akan sulit tersebar di fakultas ini tidak seperti ide dari paham-paham
liberal lainnya yang masih – bahkan sengaja – dibiarkan berkembang dengan pesat
seperti paham demokrasi, sosialisme dan feminisme. Namun, sepertinya itu tidak
akan menyurutkan semangat para penebar paham Islam di fakultas tersebut untuk
terus menyuarakan Islam karena mereka yakin bahwa makar Allah jauh labih
dahsyat daripada makar manusia. Jadi, biarlah Allah saja yang membalas amal
mereka. Begitu kata mereka.
Inilah janggalnya fakultas “rimba
aksara.” Katanya harus menghormati perbedaan, menghargai apapun yang ada di
dalam fakultas, tetapi kenapa paham Islam justru susah payah diberangus habis.
Ini semacam sikap inkonsisten. Lebih jauh lagi, kenapa mereka sentimen dengan
paham Islam? Bukankah mereka juga umat Islam? Kenapa mereka justru lebih
mencintai paham dan gaya hidup orang asing yang berbau liberalisme dan
hedonisme sehingga dibiarkan saja tumbuh subur, bahkan dipelihara dalam materi
perkuliahan dan dirayakan dalam kegiatan-kegiatan semacam inagurasi, festival
dan promnight.
Apa salahnya dengan buletin
keislaman? Organisasi keislaman? Kajian keislaman? Orang-orang berkerudung
lebar dan bercelana cingkrang? Di mana letak kesalahan dari semua itu? Apakah
keberadaan mereka mengancam nyawa warga “rimba aksara.”
Jika para aktivis ormawa bebas
mengajak siapa pun termasuk mahasiswa baru untuk berhura-hura dalam kegiatan
inagurasi yang bahkan bisa jadi melanggar jam sholat, kenapa orang yang
mengajak ke dalam majelis ilmu Islam dibredel habis-habisan. Hanya dengan
alasan “terorisme” yang tak mendasar itu? Atau dengan menunggangi peraturan
DIKTI dan semboyan “netral” dari OMEK yang digaungkan para aktivis ORMAWA?
Dan yang menyedihkan, ketika para
mahasiswa aktivis “berpaham netralisme” itu – dengan berbekal sentimentil tak
berdasar – menjadi “anjing herder” birokrat yang diktator – birokrat yang sudah
dengan jelas mengatakan tak suka dengan organisasi keislaman mahasiswa – pada
akhirnya mereka menjadi lupa bahwa mereka berhadapan dan memusuhi saudara
mereka sendiri, saudara sesama mahasiswa, seaqidah, yakni Aqidah Islam. Sungguh
miris.